JAKARTA - Dua tahun sudah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah berdiri. Namun, rapor merah belum bisa dilepaskan dari peradilan khusus tersebut. Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Jaksa Muda Pidan Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung kompak menyebut pengadilan Tipikor memiliki banyak kelemahan.
Unek-unek itu keluar saat diskusi evaluasi kinerja 2 tahun pengadilan Tipikor di Indonesia di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan. Tidak hanya pengadilan Tipikor daerah yang dinilai, pengadilan pusat di Jakarta juga masuk dalam penilaian. "Tren vonis ringan meningkat," ujar Emerson Yuntho dari ICW.
Bukan tanpa alasan dia menyebut pengadilan Tipikor melempem. Seringkali, hakim memilih untuk mencari hukuman teringan dari tuntutan jaksa. Biasanya itu terjadi saat tuntutan berbentuk subsider. Tidak hanya itu, dalam kurun waktu 2005 " 2011 tren vonis bebas cukup tinggi.
Kritikan pedas lainnya muncul saat Emerson mencontohkan salah satu vonis bebas kepada Mochtar Mohammad, mantan wali kota Bekasi yang menjalani sidang di Tipikor Bandung. Dia menilai, majelis hakim lebih percapa pada keterangan terdakwa yang banyak berbohong. "Harus ada peninjauan ulang untuk Tipikor daerah," sarannya.
Ada lagi, pantauan ICW menyebutkan kalau hakim Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT) terkesan tidak terlalu mendalami anatomi kasus. Jadinya, ada kesa copy paste dalam uraian pertimbangan hukum yang itu itu saja. Sangat jarang ditemukan pendapat atau pertimbangan baru selain dari apa yang disajikan penuntut umum.
Lemahnya hakim membuat vonis menjadi tidak menggigit. Harapan hukuman bisa menjadi efek jera juga tidak muncul. Belum lagi, kalau hakim tidak menuliskan amar apakah terdakwa ditahan, atau tidak dalam putusannya. "Jaksa dan hakim tidak maksimal menggali fakta persidangan untuk pengembangan ke pelaku lain," imbuhnya.
Jaksa juga tidak luput dari kritik, disebutkan kalau penuntut umum di pengadilan Tipikor kurang optimal dalam memiskinkan koruptor. Kebanyakan, hanya pelaku yang dijerat. Padahal, uang hasil korupsi juga ikut dinikmati oleh keluarganya. Seperti kasus Angelina Sondakh yang menurutnya bisa dijerat dengan pencucian uang.
Kedepan, dia berharap Tipikor daerah dan pusat bisa lebih baik lagi. Jangan sampai terkesan gaji yang sudah dibayarkan ke pengadil menjadi sia-sia karena tidak sebanding dengan produktifitas yang dihasilkan. "Pengadilan juga harus pilah-pilah. Untuk kasus yang menyangkut pejabat daerah, diatas Rp 1 miliar dan menarik perhatian publik lebih baik dibawa ke pusat," jelasnya.
Sementara itu, Jampidsus Andi Nirwanto mengatakan kalau pengadilan Tipikor memang belum efektif. Setidaknya, itu hasil dari penelitian yang dilakukan Kejagung terhadap 399 responden yang berprofesi sebagai jaksa, hakim, dan pengacara. Hasilnya, sebanyak 83,96 persen atau 335 responden menyebut tipikor tidak efektif.
"Yang menyebut efektif hanya 59 responden, dan 5 sisanya tidak menjawab," katanya. Menurutnya, Tipikor kurang menggigit karena komponen hakim Tipikor yang terdiri dari hakim karir dan ad hoc. Perpaduan itu kurang bagus karena hakim karir bisa menangani kasus lain sehingga tak fokus.
Diperparah dengan kualitas beberapa hakim ad hoc yang belum berpengalaman. Seperti perbedaan persepsi tentang terminologi keuangan negara yang kerap dijadikan alasan oleh hakim untuk menerima eksepsi terdakwa atau penasihat hukum. "Jadinya, penanganan perkara korupsi tidak dilanjutkan sampai memeriksa materi perkara," jelasnya.
Disamping itu, persoalan geografis terkait eksistensi pengadilan Tipikor menurut Andi cukup penting. Sebab, dalam beberapa kasus, waktu, tenaga dan biaya penanganan perkara tidak sebanding dengan kerugian uang negara. (dim)
Unek-unek itu keluar saat diskusi evaluasi kinerja 2 tahun pengadilan Tipikor di Indonesia di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan. Tidak hanya pengadilan Tipikor daerah yang dinilai, pengadilan pusat di Jakarta juga masuk dalam penilaian. "Tren vonis ringan meningkat," ujar Emerson Yuntho dari ICW.
Bukan tanpa alasan dia menyebut pengadilan Tipikor melempem. Seringkali, hakim memilih untuk mencari hukuman teringan dari tuntutan jaksa. Biasanya itu terjadi saat tuntutan berbentuk subsider. Tidak hanya itu, dalam kurun waktu 2005 " 2011 tren vonis bebas cukup tinggi.
Kritikan pedas lainnya muncul saat Emerson mencontohkan salah satu vonis bebas kepada Mochtar Mohammad, mantan wali kota Bekasi yang menjalani sidang di Tipikor Bandung. Dia menilai, majelis hakim lebih percapa pada keterangan terdakwa yang banyak berbohong. "Harus ada peninjauan ulang untuk Tipikor daerah," sarannya.
Ada lagi, pantauan ICW menyebutkan kalau hakim Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT) terkesan tidak terlalu mendalami anatomi kasus. Jadinya, ada kesa copy paste dalam uraian pertimbangan hukum yang itu itu saja. Sangat jarang ditemukan pendapat atau pertimbangan baru selain dari apa yang disajikan penuntut umum.
Lemahnya hakim membuat vonis menjadi tidak menggigit. Harapan hukuman bisa menjadi efek jera juga tidak muncul. Belum lagi, kalau hakim tidak menuliskan amar apakah terdakwa ditahan, atau tidak dalam putusannya. "Jaksa dan hakim tidak maksimal menggali fakta persidangan untuk pengembangan ke pelaku lain," imbuhnya.
Jaksa juga tidak luput dari kritik, disebutkan kalau penuntut umum di pengadilan Tipikor kurang optimal dalam memiskinkan koruptor. Kebanyakan, hanya pelaku yang dijerat. Padahal, uang hasil korupsi juga ikut dinikmati oleh keluarganya. Seperti kasus Angelina Sondakh yang menurutnya bisa dijerat dengan pencucian uang.
Kedepan, dia berharap Tipikor daerah dan pusat bisa lebih baik lagi. Jangan sampai terkesan gaji yang sudah dibayarkan ke pengadil menjadi sia-sia karena tidak sebanding dengan produktifitas yang dihasilkan. "Pengadilan juga harus pilah-pilah. Untuk kasus yang menyangkut pejabat daerah, diatas Rp 1 miliar dan menarik perhatian publik lebih baik dibawa ke pusat," jelasnya.
Sementara itu, Jampidsus Andi Nirwanto mengatakan kalau pengadilan Tipikor memang belum efektif. Setidaknya, itu hasil dari penelitian yang dilakukan Kejagung terhadap 399 responden yang berprofesi sebagai jaksa, hakim, dan pengacara. Hasilnya, sebanyak 83,96 persen atau 335 responden menyebut tipikor tidak efektif.
"Yang menyebut efektif hanya 59 responden, dan 5 sisanya tidak menjawab," katanya. Menurutnya, Tipikor kurang menggigit karena komponen hakim Tipikor yang terdiri dari hakim karir dan ad hoc. Perpaduan itu kurang bagus karena hakim karir bisa menangani kasus lain sehingga tak fokus.
Diperparah dengan kualitas beberapa hakim ad hoc yang belum berpengalaman. Seperti perbedaan persepsi tentang terminologi keuangan negara yang kerap dijadikan alasan oleh hakim untuk menerima eksepsi terdakwa atau penasihat hukum. "Jadinya, penanganan perkara korupsi tidak dilanjutkan sampai memeriksa materi perkara," jelasnya.
Disamping itu, persoalan geografis terkait eksistensi pengadilan Tipikor menurut Andi cukup penting. Sebab, dalam beberapa kasus, waktu, tenaga dan biaya penanganan perkara tidak sebanding dengan kerugian uang negara. (dim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usia Kada Lebih Panjang Ketimbang Wakilnya
Redaktur : Tim Redaksi