jpnn.com, LOMBOK TENGAH - Sebuah pohon tumbuh menjulang melebihi rumah masyarakat Sasak Desa Adat Sade, Rembitan, Pujut, Lombok Tengah, NTB.
Pohon itu tampak kering meranggas. Tidak ada satu pun daun di pohon yang dinamai pohon cinta ini.
BACA JUGA: Dua Penjambret Bule di Lombok Tengah Ditangkap, Tak Diberi Ampun, Dooor!
Pohon unik itu menyimpan arti mendalam bagi pasangan muda-mudi Suku Sasak yang serius menjalin kasih ke jenjang pernikahan.
Pohon cinta menjadi saksi bisu pertemuan rahasia mereka pada tengah malam.
BACA JUGA: Nia Ramadhani Dikabarkan Gugat Cerai, Asisten: Malah Makin Cinta
Ina Topan, perempuan berusia 26 tahun, menjadi salah satu dari sosok yang mengakuinya.
Beberapa tahun lalu, perempuan bernama asli Yuli Nawamalini itu diminta sang kekasih yang tak lain sepupunya bertemu di pohon cinta pukul 24.00.
BACA JUGA: Dibantai Viktor Axelsen, Anthony Ginting Tetap Ukir Sejarah Baru di All England 2022
Tidak lama bersua di sana, Ina Topan lantas dibawa menuju kandang sapi di kampung sebelah.
"'Dik, ayo menikah nanti malam. Saya tunggu di pohon cinta. Nanti jam 12 (malam) saya di atas pohon cinta'. Saya dibawa ke kandang sapi di kampung sebelah," kenang dia kepada ANTARA dikutip Sabtu.
Dalam tradisi masyarakat Sasak, perempuan yang dipilih untuk dipinang akan dibawa pergi semalam tanpa sepengetahuan orang tua mereka atau disebut kawin lari.
Namun, bukan dalam arti kawin lari sebenarnya, karena sang wanita semata dibawa pergi tanpa ada ritual apapun layaknya pernikahan pada umumnya.
Orang tua yang tak bisa menemukan putri mereka dalam semalam harus menikahkannya dengan pemuda pilihan sang putri.
"Pas malamnya enggak boleh kita (perempuan Sasak) disentuh-sentuh sebelum akad nikah. Dibawa sehari semalam. Enggak bisa dibawa orangtua harus sudah sehari semalam. Kalau ketemu bisa kita dibawa orang tua. Semisal, ibu bapak kita enggak mau menikahkan kita," tutur Ina Topan.
"Yang cewek harus pintar-pintar cari akal ke orang tua. Mungkin dia ngakalin untuk pergi buang air kecil atau ke mana. Setelah itu celingak-celinguk keluar," sambung Ina.
Hanya saja, kata Ina, tak semua wanita Sasak di Desa Sade bertemu dengan pasangan terkasihnya di pohon cinta.
Lelaki yang menyukai seorang wanita tak harus memastikan si wanita merasakan hal serupa. Dengan kata lain, wanita umumnya akan menerima pinangan seorang lelaki tanpa didasari rasa cinta.
"Tetapi kalau nikah sama sepupu walau kita tidak suka sama laki-lakinya kalau sudah suka laki-lakinya, ayo aja. Jadinya cinta tumbuh belakangan. Dulu saya suka sama suka. Alhamdulillah," ungkap Ina Topan yang kini dikaruniai dua orang anak itu seraya terkekeh.
Bayu, warga Desa Adat Sade, mengatakan masyarakat di tempatnya tinggal masih melanggengkan tradisi menikah tanpa tunangan atau lamaran.
Pasangan yang sudah mengikat janji setia dan suka sama suka pada malam hari bertemu di pohon cinta sebelum meminta izin menikah dari ayah sang wanita.
"Setelah (bertemu di pohon cinta) itu dibawa kabur lari ke luar kampung. Besoknya langsung ada yang datang pihak laki memberi tahu ke ayahnya perempuan bahwa anaknya tidak hilang, tetapi diculik sama si A. Kalau tidak ada utusan yang datang, orang tua kan mencari," papar Bayu yang berprofesi sebagai pemandu.
Para perempuan di Desa Adat Sade umumnya menikah di usia 22 tahun. Bila lebih dari usia itu belum menikah, warga setempat menyebutnya perawan tua.
Setelah menikah, perempuan biasanya membantu perekonomian keluarga dengan menjual hasil tenunan mereka. Suami mendapatkan rezeki dari bertani.
Perempuan Sasak biasanya sudah diajari menenun sejak usia belasan tahun. Keterampilan menenun membantu mereka melatih kesabaran.
Tenun yang mereka hasilkan nantinya dijual dengan harga beragam tergantung tingkat kesulitan pola dan luasan kain. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo