Pengalaman Finalis Miss Indonesia Deva Indah Jadi Hakim di Pedalaman Jambi

Beri Perhatian Terhadap Kasus KDRT, Kesusilaan dan Narkotika

Kamis, 22 Maret 2012 – 00:11 WIB
Deva Indah saat menjadi perserta kontes Miss Indonesia.

Di tengah proses adaptasi yang tak gampang, Deva Indah sudah menangani 160 kasus di PN Muara Bulian. Padahal, dia sempat hampir mengurungkan niat saat pertama melihat Jambi dari pesawat.
  
   FRANCISCUS EM, Jambi
  
MENGENAKAN blazer biru dongker dipadu rok hitam selutut, sekilas penampilan Deva Indah tak seperti hakim pada umumnya. Ditambah lagi dengan rambut panjang terurai yang di ujungnya berwarna keemasan.

Ditemui Senin (19/3) di kantornya, Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Jambi, sekitar pukul 12.00, gadis berdarah Jawa-Palembang itu terlihat segar dan penuh senyum. "Saya memilih menjadi hakim karena sesuai dengan jurusan saya. Ini sudah pilihan dan amal buat saya," ujar Deva kepada Jambi Independent (JPNN Group).
  
Deva merupakan anak pertama di antara lima bersaudara. Dia lahir di Jakarta pada 29 Januari 1984. Pendidikan formalnya ditamatkan di SD Pamulang Timur, SMP 49 Jakarta, dan SMA 14 Jakarta. Setelah tamat SMA pada 2001, dia melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Deva menggondol gelar sarjana hukum dari Unpad pada 2005.

Nah, setahun kemudian namanya mulai dikenal saat dia menjadi finalis Miss Indonesia mewakili Provinsi Jawa Barat. Modal itu sebenarnya membuka pintu kesempatan baginya ke dunia gemerlap hiburan, seperti lazimnya para alumnus kontes kecantikan. 

Namun, Deva ternyata lebih memilih jalan yang "sepi": dunia yustisia. Berselang beberapa bulan setelah menjadi finalis, dia diterima sebagai calon hakim dengan penempatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Karirnya sebagai hakim terus berderap. Pada 2009 dia diangkat sebagai hakim dengan penempatan di PN Muara Bulian, Provinsi Jambi, hingga sekarang. "SK saya keluar Juni 2009, kemudian dilantik dengan penempatan Pengadilan Negeri Muara Bulian," katanya.

Dengan semangat tinggi untuk mengabdikan diri di dunia hukum, dia pun meninggalkan Jakarta menuju Jambi. Namun, belum lagi mendarat, nyalinya menciut. Maklum, dari atas sana, yang tampak dari Jambi hanya hamparan hijau.
"Saya lihat dari pesawat, Jambi masih hijau, (kelapa) sawit semua isinya," ujarnya mengenang

Kakak kandung dr Darini Sahara, drg Diza Losa Fasyi, M. Fardana, dan Dinar Salsabila itu pun hampir mengurungkan niat. Untung, niat tersebut akhirnya bisa dia buang jauh-jauh. Dia pun berangkat dari Jambi ke Muara Bulian yang berjarak sekitar 60 km dengan satu tujuan: mengabdi kepada negara.

Saat mulai bertugas pun, tak sedikit kendala yang dihadapi Deva. Mulai bahasa yang sangat berbeda, air yang keruh, hingga makanan yang kurang pas di lidahnya. Termasuk menahan rasa kangen dengan keluarga besar di Jakarta. "Sudah tiga tahun saya kerja di Bulian. Tapi, saya belum lancar bahasa Jambi," ujarnya.

Hidup di kota kecil yang sangat berbeda dengan kota kelahirannya, Jakarta, memang serba terbatas. Setiap hari Deva harus menggunakan air PDAM Muara Bulian yang warnanya kekuningan untuk membasuh badan. "Tiap hari mandi pakai air PDAM. Cuci muka, saya pakai air galon (air isi ulang)," ujarnya.

Deva yang masih berdarah Belanda itu juga belum bisa sepenuhnya beradaptasi dengan makanan di Muara Bulian. Makanan Muara Bulian yang rata-rata bersantan dikatakan kurang cocok di lidahnya, termasuk untuk kesehatan. "Wajah saya sekarang jerawatan," jelas lajang 28 tahun itu.

Di hadapan semua kendala itu, praktis Deva dituntut untuk memaksimalkan kesabaran. Terutama bagi seorang perempuan lajang seperti dirinya yang sama sekali tidak memiliki keluarga dekat.

Apalagi, dia pernah mengalami kehilangan BlackBerry kesayangan saat tidur di rumah dinas. Di rumah tersebut dia hanya tinggal berdua dengan seorang teman perempuan yang juga bekerja di PN Muara Bulian. "Kejadian itu membuat saya trauma sampai saat ini," katanya.

Belum lagi rasa kangen kepada keluarga besar. Untuk mengobatinya, biasanya sekali dalam sebulan, Deva berangkat ke Jakarta. Di luar jadwal ini, Deva dan keluarga rutin menjalin komunikasi melalui telepon seluler. "Komunikasi jarak jauh intens saya lakukan. Kabar keluarga bagi saya sangat penting," ujar alumnus Magister Hukum Bisnis Unpad itu.

Selama tiga tahun bertugas di Muara Bulian, sekitar 160-an kasus pidana maupun perdata telah ditanganinya. Di antara kasus-kasus itu, yang mendapatkan atensi khusus dari Deva yang terkait dengan KDRT, kesusilaan, dan narkotika. Deva sangat menaruh perhatian terhadap tiga kasus tersebut, terutama yang menyangkut perempuan dan anak.

Untuk mutasi selanjutnya, Deva berharap bisa ditugaskan dekat dengan keluarga besar. Apalagi, sang ibu menderita sakit lupus sejak 2005 dan masih membutuhkan perawatan intensif.

Mengenai kehidupan pribadinya, tahun ini dia berencana mengakhiri masa lajang. Namun, dia enggan membicarakan hal yang menyangkut privasi. Termasuk menyebut nama calon suaminya. "Kalau soal privasi, no comment," ujarnya sambil tersenyum. (*/jpnn/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggap Antar Menteri BUMN dengan Motor Doorprice


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler