Sepanjang hidupnya, Radjali Amin, mahasiswa PhD di University of Queensland belum pernah bertemu langsung dengan presiden Republik Indonesia. Dan kesempatan bertemu Presiden Jokowi di Brisbane tidak dilewatkannya. Kebetulan Jokowi adalah juga kakak kelasnya di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.

Di sela-sela agenda rapat G20 yang padat tanggal 15 November 2014, sehari sebelumnya di  kampus Queensland University of Technology (QUT) diadakan temu kangen antara Presiden Jokowi dengan masyarakat Indonesia di Brisbane.

BACA JUGA: Pasien Anak Australia Banyak Diresepkan Obat Skizofernia

Pertemuan ini seharusnya dilaksanakan pada jam 7:30 malam, namun karena tiba-tiba diundang oleh Tony Abbott, perdana menteri Australia, untuk dinner maka acaranya mundur sekitar satu jam.

BACA JUGA: Tony Abbott, Shinzo Abe dan Barack Obama Bahas Ukraina dan ISIS

Sebanyak kurang lebih 260-an undangan, yang berasal dari sekitar 25-an kelompok masyarakat Indonesia termasuk tokoh masyarakat Indonesia di Brisbane, hadir memenuhi kursi undangan yang sudah disediakan.

Menurut informasi panitia penyelenggara, yang berlatar belakang pekerjaan di Brisbane yang berbeda-beda itu, sebenarnya animo masyarakat Indonesia di Brisbane untuk hadir di dalam acara ini sangat besar, tapi karena keterbatasan waktu dan tempat maka hanya sejumlah itulah yang diundang hadir.

BACA JUGA: KTT G20 Brisbane Fokuskan Kesepakatan pada Sektor Tenaga Kerja dan Perubahan Iklim

Mungkin karena bukan termasuk “pejabat” maka informasi tentang bagaimana caranya untuk bisa hadir di dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi di Brisbane, menjadi terbatas. Padahal upaya untuk itu sudah dimulai sejak 3 bulan yang lalu yaitu ketika tempat dimana kami bekerja dimintai bantuannya untuk membantu penyelenggaraan rapat G20 itu. Saya melamar untuk menjadi volunteer dengan harapan bisa bertemu dengan Presiden Jokowi, tapi lamaran saya ditolak.

Beberapa kali menghubungi rekan-rekan yang berpotensi mengetahui acara inipun bermuara pada jawaban yang kurang memuaskan. Ada yang menjawab tidak tahu, ada yang meminta saya untuk menunggu karena belum ada kepastian ada tidaknya acara, ada yang tidak membalas SMS saya. Saya juga telah mem-posting pertanyaan itu di group mailing University of Queensland’s Indonesian Student Association (UQISA), yaitu persatuan pelajar Indonesia di universitas Queensland, dan mendapatkan jawaban serupa.

Asa untuk mendapatkan undangan tetap dikandung badan namun sialnya, sehari sebelum hari H pertemuan dengan Presiden Jokowi yaitu tanggal 13 November 2014, telepon genggam saya tertinggal di rumah. Ketika pulang ke rumah sekitar jam 9 malam, saya menemukan ada banyak miscall di telepon genggam saya. Sebagian besar dari anak saya. Namun di sela-sela miscall itu ada dua miscall yang lain, yaitu dari Mirza Satria Buana, seorang karib yang pernah menjabat sebagai presiden UQISA periode 2013-2014. Saya balas menelpon dan dari dia saya tahu kalau saya dicalonkan untuk bisa hadir dalam pertemuan itu. Wow!, tapi masih dalam tahapan “calon”.

Di hari H pertemuan, masih terbilang pagi namun sudah terik di Brisbane, jam 6 Mirza telepon lagi dan mengatakan kalau undangan harus diambil sendiri di kantor maskapai Garuda Indonesia di International Airport of Brisbane sebelum jam 12 siang, padahal menurut informasi yang disebarluaskan oleh pemerintah setempat, pada hari H ini hampir sebagian besar moda transportasi masa yang melintasi pusat kota Brisbane mengalami hambatan. Untung, karena ternyata hambatan yang terjadi hanyalah berupa pemeriksaan polisi dan satpam kereta listrik di stasiun Milton, yaitu salah satu stasiun di sekitar pusat kota Brisbane. Selanjutnya perjalanan lancar.

Sesampainya di bandara internasional Brisbane, bersama Mirza dan Dirgha yaitu salah satu wakil presiden UQISA, surat undangan kami ambil dari salah satu staf senior Garuda, Pamela. Sayangnya, dalam bendelan undangan itu, tidak terdapat nama saya dan Mirza. Dengan tangan kosong namun yakin tetap mendapatkan undangan, kami pulang. Dan benar saja, sekitar jam 4 sore, ada SMS dari Mirza kalau undangan saya bisa diambil di lokasi pertemuan.

Perjalanan ke lokasi pertemuan juga tidak mudah, karena salah satu persyaratan untuk bisa masuk dalam pertemuan itu adalah para undangan harus memakai baju batik berlengan panjang, sementara saya tidak punya itu. Lemari pakaian sudah saya periksa, kawan-kawan saya tanyai termasuk istri saya yang kebetulan sedang berada di indonesiapun saya telepon.

Akhirnya saya mendapat pinjaman dari Miftakhul Maarif, salah seorang dedengkot grup keroncong Brisbane, yang kebetulan tidak manggung di dalam acara ini. Setelah saya menerima undangan dari Dhirga, barulah saya mengetahui kalau baju batik berlengan panjang bukanlah persyaratan karena yang tertulis di undangan hanyalah pakaian batik untuk dress code-nya.

Masalah belum selesai, karena nama saya di undangan tidak sesuai dengan nama di paspor. Ada satu huruf yang tidak tertulis dalam nama saya di undangan. Kalau saja nama yang tertulis di dalam undangan harus sama persis dengan nama yang tertulis di dalam paspor, saya pasti tidak bisa masuk. Rupanya, keberuntungan masih di pihak saya. Panitia tidak memeriksa secara detil nama saya. Petugas hanya menanyakan nama saya, nomor pendaftaran, dan nama kelompok saja.

Anak saya, Ayu berpesan kalau bisa selfie dengan Presiden Jokowi, jika tidak bisa, cukup foto yang ada saya dan Presiden Jokowi di dalam satu frame. Harapan untuk ber-selfie ini sepertinya agak susah dilaksanakan karena para undangan tidak diperkenankan mengambil foto Presiden. Pengambilan gambar hanya boleh dilakukan oleh staf protokoler kepresidenan, demikian kata MC.

Tapi apa yang sampaikan oleh MC, ternyata tidak terjadi sama sekali. Sejak Presiden Jokowi, yang memakai baju batik coklat itu memasuki ruangan, sebagian undangan sudah mengambil gambarnya, sementara sebagian masih ragu-ragu. Namun situasi ini tidak berlangsung lama karena mereka menjadi turut mengambil gambar setelah petugas tidak diperingatkan mereka. Presiden sendiri tampaknya membiarkan bahkan setuju untuk selfie dengan beberapa undangan. Sekarang semuanya berebut mengambil gambar dan selfie dengan Presiden.

Di dalam kesempatan pidatonya, Presiden sempat mengundang beberapa undangan ke depan dan meminta mereka untuk mengeluarkan uneg-unegnya selama berada di Brisbane. Di dalam sesi tanya jawab yang dipandu oleh dubes Indonesia, jumlah penanya sangat dibatasi karena keterbatasan waktu. Hanya ada satu sesi tanya jawab dan sayangnya lagi, dari semua penanya yang ditunjuk tidak ada yang berstatus sebagai pelajar.

Hari sudah larut malam, walaupun antusiasisme undangan masih tinggi di dalam acara ini, Presiden harus segera istirahat untuk program utama di keesokan harinya. Keluar ruanganpun tidak mudah karena keingian selfie peserta undangan dan wawancara dengan media masa masih saja berlangsung. Sama seperti masuknya, meninggalkan ruangan juga memakan waktu lama. Presiden benar-benar meninggalkan ruangan sekitar pukul 11 malam.

Selama menyusuri Sungai Brisbane menuju ke dermaga Guyatt Park  dalam perjalanan pulang ke rumah, saya berusaha mengingat-ingat sosok Joko Widodo ini ketika kami sama – sama kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, saya beda tiga tahun lebih muda daripada Jokowi, “Oala to mas mas, kalau dari dulu saya tahu mas Joko bakal jadi presiden, saya akan kejar mas Joko dari dulu di kampus. Sekarang, salaman aja musti rebutan dengan orang lain dan saya harus panggil “pak Jokowi” bukan “mas Joko” lagi seperti di kampus dulu. 

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Bentuk Tim Dokter Khusus untuk Antisipasi Wabah Ebola di Asia Pasifik

Berita Terkait