Muhammad Yahya PhD, dosen Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, berhasil sembuh dari COVID setelah melewati badai sitokin dengan saturasi oksigen dalam darahnya tinggal 60 persen.

Sitokin merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan tubuh, sehingga badai sitokin dalam dunia kesehatan merujuk pada respon imun yang berlebihan dan bisa menyebabkan masalah serius dalam tubuh,

BACA JUGA: Ahli Ungkap Fakta soal Varian Lambda Pemicu Badai Sitokin, Menakutkan

Muhammad Yahya, yang seorang doktor bidang sosiologi politik lulusan Universitas Monash di Australia ini sebelumnya sempat melakukan isolasi mandiri selama 12 hari.

Namun karena kondisinya terus menurun ia dilarikan ke Rumah Sakit Islam (RSI) Aisyiah Malang pada 5 Agustus.

BACA JUGA: KM Lawit Disiapkan untuk Isolasi Terpusat Pasien Covid-19

Setelah sekitar 10 hari di rumah sakit, ia mengatakan kondisinya mulai membaik. Namun karena hasil tesnya masih positif, para dokter memutuskan untuk memberikan plasma convalesen.

"Saya mendapatkan perawatan di sana sampai 14 Agustus dan diperbolehkan pulang tapi masih diminta isoman di rumah sampai benar-benar pulih," ujarnya kepada wartawan ABC Indonesia Farid M. Ibrahim.

BACA JUGA: Alhamdulillah, 170 Pasien Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran Sembuh

Kesulitan bernafas seperti tenggalam

Muhammad Yahya termasuk dalam kategori orang kena COVID yang parah, dengan gejala bukan lagi hanya batuk, demam, lemah, lesu dan kehilangan nafsu makan tapi juga saturasi oksigen yang rendah. 

Dengan kondisi saturasi yang drop ke angka 60, Muhammad mengatakan dia merasakan seperti orang yang sedang tenggelam dan hampir kehabisan nafas.

"Yang saya takutkan ketika sakit adalah jangan sampai istri saya juga sakit. Anak saya lima orang masih kecil. Itu saja yang paling saya pikirkan. Kalau istri saya kena, terus bagaimana? Anak-anak saya bagaimana?," paparnya.

Ketika terserang COVID-19, Muhammad Yahya merasa kondisinya semakin parah di hari ke-11 tanpa ada tabung oksigen.

Dia mengaku melakukan 'proning' sendiri, yaitu posisi tengkurap karena sudah kesulitan bernapas, yang dilakukannya berulang-ulang, sampai akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit. Tidak hanya sakit secara fisik

Belajar dari pengalamannya, Muhammad Yahya menyebut penyakit merupakan keterkaitan antara hati, pikiran dan fisik.

"Ketika mengalami masa kritis tersebut, yang paling saya rasakan mengganggu adalah pikiran dan hati kita," ujarnya.

"Saat mau bergerak itu tidak bisa. Mau mengambil makanan tidak bisa. Tulang belakang ini rasa patah semua. Tidak bisa apa-apa. Minum saja rasanya tidak bisa," katanya.

Saat itu juga pikirannya pun sempat ke mana-mana, bahkan ia sempat memimpikan anaknya mati atau bermimpi hal-hal yang menakutkan.

Tapi Muhammad Yahya mengaku ada hal yang kemudian membuatnya agak tenang, yaitu kesadaran bahwa kematian tidak ditentukan oleh sakit.

"Pelan-pelan saya merekonstruksi kognisi dan pikiran, bahwa umur itu tidak ditentukan oleh sehat atau sakit. Itulah yang membuat saya rela menerima sakit ini," ujarnya.

Ia menyebut faktor pikiran positif turut berpengaruh pada proses penyembuhannya.

"Bagi saya sikap ikhlas menerima itu sangat penting karena membantu relaksasi, menjaga pikiran positif, dan proses recovery pun jadi bersemangat," kata Kepala Pusat Integrasi Islam dan Sains Universitas Negeri Malang ini. Pentingnya menjaga pikiran positif

Menurut dokter spesialis paru-paru dari Rumah Sakit Persahabatan Jakarta dr Andika Chandra Putra PhD, Sp.P, sikap pasien seperti Muhammad Yahya yang pada saat mengalami titik kritis lantas bersikap ikhlas dan rela, jelas berpengaruh pada penyembuhannya.

"Positive thinking itu bukan hal yang baru dalam dunia kesehatan. Bukan hanya terjadi di COVID ini," jelas dr Andika saat dihubungi Farid M. Ibrahim dari ABC Indonesia, hari Kamis (26/08). 

"Kebetulan saya banyak berhubungan dengan pasien-pasien kanker paru. Kalau misalnya orang dengan positive thinking, ikhlas, .... rela, biasanya responnya begitu baik," katanya.

Terkait COVID-19, kata Dr Andika, salah satu faktor penurun imun itu karena stress.

Menurutnya pasien yang bersikap menerima dan ikhlas bisa membantu menghindarkannya dari menurunnya imun.

"Dan pada kondisi-kondisi terminal yang sudah tidak bisa disembuhkan, pasien yang bersikap demikian biasanya meninggalnya juga lebih tenang," ungkapnya.

Menurutnya untuk mengetahui tingkat kritis seseorang terkait dengan paru-paru,  ukuran saturasi oksigen adalah indikator yang paling mudah diperiksa.

"Yang normal itu 94 atau 95 persen ke atas. Jadi kalau di angka 60 itu sudah kritis," jelasnya.

Dr Andika menjelaskan indikator lainnya yaitu dengan mengukur respiratori napas, yang pada orang dewasa normal antara 12 hingga 20 kali tarikan dalam satu menit.

"Kalau seseorang bernapas di atas 30 kali dalam satu menit itu dikategorikan sesak napas dan kalau sudah gawat disebut sebagai gagal napas," katanya.

"Idealnya kita lakukan yang namanya analisa gas darah. Dari situ kita bisa menilai kadar oksigen, ada namanya tekanan oksigen, kadar CO2, dan kita bisa menilai saturasi oksigen kita itu berapa sebenarnya dalam darah," jelas dr Andika.

COVID sendiri memiliki tiga fase, yakni fase awal infeksi, peradangannya belum begitu hebat dan masih bersifat lokal.

"Kemudian kalau sistem imunnya tidak begitu bagus, akan terjadi yang namanya inflamasi sistemik," jelasnya.

Periode itulah, jelas dr Andika, yang disebut terjadi badai sitokin, yaitu peradangan yang begitu hebat dalam tubuh sehingga mempengaruhi sistem organ lainnya, termasuk otak. Kesadaran menurun karena hypoxia pada otak

Dokter Andika menambahkan, kalau saturasi oksigen pasien seperti Muhammad Yahya tinggal 60 persen, telah terjadi gawat napas.

"Jadi telah terjadi hypoxia atau kadar oksigen yang rendah dalam darah, yang pada akhirnya menyebabkan kadar oksigen dalam jaringan juga berkurang," jelasnya.

Tubuh kita ini, kata dr Andika, memberikan kompensasi.

Artinya ketika kadar oksigen sudah turun, maka tubuh akan membagi oksigen tersebut ke organ-organ yang penting terlebih dahulu, misalnya ke jantung.

"Bila kadar oksigen di otak sudah rendah, bisa kejadian hypoxia di otak. Salah satu manifestasi hypoxia di otak itu termasuk kesadarannya bisa menurun, mengalami black out seperti itu," katanya.

Terkait plasma convalesen yang pernah diterima Muhammad Yahya, menurut dr Andika, ada rangkuman sejumlah konferensi akademik yang mengumpulkan seluruh penelitian di luar negeri yang memperlihatkan bahwa plasma convalesen ini sebenarnya tidak banyak manfaatnya.

"Tapi memang di Indonesia sendiri, penelitiannya masih berlangsung. Dari beberapa kasus yang saya ketahui, memang pada pneumonia berat bila timingnya tepat, pemberian plasma darah ini memberikan perbaikan," jelasnya.

"Dari pengalaman kami, kalau misalnya sudah terjadi gagal napas, atau misalnya mengalami badai sitokin yang hebat, apa pun yang diberikan responnya tidak begitu baik lagi," tambah dr Andika.

"Tapi kalau misalnya saat kondisinya berat dan akan menuju ke kritis lalu kita berikan, biasanya memang membaik," paparnya.

Ikuti informasi terkini soal pandemi COVID-19 di ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Deddy Corbuzier Hampir Meninggal, Curahan Hati Azka Bikin Sedih

Berita Terkait