Sejak menjadi warga negara Australia, Widha Chaidir sudah empat kali ikut memilih dalam Pemilu dan mengaku tak pernah mengalami kesulitan dari pendaftaran hingga datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Di sini lebih terarah. Kita wajib memilih dan bakal terdeteksi, kalau sampai tak memilih akan dikenai denda," ujarnya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.
BACA JUGA: Lupakan Apa Kata Kalender, Musim Dingin Telah Tiba Lebih Awal di Wilayah Tenggara Australia
Guru sekolah menengah Ivanhoe Grammar School ini mengaku tidak pernah lalai memberikan suara dalam pemilu, apalagi karena ada lokasi TPS di belakang rumahnya.
Widha yang sudah 25 tahun tinggal di Australia kini bermukim di Ivanhoe, sekitar 9 km dari pusat kota Melbourne, yang termasuk dalam daerah pemilihan (Dapil) Jagajaga untuk Parlemen Australia.
BACA JUGA: Australia Akhirnya Naikkan Suku Bunga untuk Pertama Kalinya dalam 11 Tahun, Ini Pemicunya
"Saya belum pernah kena denda karena selalu taat menggunakan hak untuk memilih wakil rakyat, baik di tingkat negara bagian maupun tingkat federal," ujarnya.
Aturan pemilu mengharuskan warga negara Australia berusia di atas 18 tahun untuk memberikan suaranya. Karena sifatnya wajib, yang melanggar akan dikenai denda sebesar A$20 (Rp205 ribu).
BACA JUGA: Ribuan Guru di Sydney Berunjuk Rasa Menuntut Kenaikan Gaji
Australian Electoral Commission (AEC) menyatakan, tahapan pemilu federal yang akan digelar pada 21 Mei sudah berjalan saat ini.
Bagi warga yang telah memenuhi syarat, cara mendaftar untuk memilih hanya memerlukan SIM atau nomor paspor Australia.
Bila tidak memiliki keduanya, seseorang yang sudah terdaftar sebagai pemilih dapat menjadi referensi untuk mengonfirmasi identitas pihak yang bersangkutan.
"Saya terima surat pemberitahuan tentang jadwal pemilu sejak minggu lalu, isinya mengingatkan apabila akan berhalangan hadir di TPS pada hari pemilu, maka kita harus mengisi formulir, sehingga tidak akan kena denda," kata Widha.
Dari pengalamannya beberapa kali memilih, Widha merasa bahwa Pemerintah Australia "berusaha agar para pemilih jangan sampai melewatkan pemilu".
"Pemilu di sini sama sekali tidak menyusahkan," tambahnya.
Seorang warga asal Indonesia lainnya, Dewi Anggraeni, mengungkapkan pemilih juga diberi kemudahan bila tidak dapat datang ke TPS.
"Selama ini saya selalu datang ke TPS. Tapi mungkin kali ini akan menggunakan postal vote, karena persendian saya makin tidak mau diajak antre berdiri lama-lama," kata mantan jurnalis Majalah TEMPO ini.
Postal vote merupakan salah satu pilihan cara pemilih memberikan suaranya dalam pemilu.
Menurut AEC, Anda dapat meminta untuk memberikan suara melalui pos jika tidak dapat pergi ke TPS pada hari pemilu, atau jika Anda tidak dapat tiba di TPS lebih awal.
Dalam Pemilu Federal 2019 yang lalu, terjadi lonjakan jumlah orang yang memberikan suara lebih awal dan melalui pos.
AEC percaya bahwa tren itu akan berlanjut dalam Pemilu Federal tahun ini. Pertimbangan dalam memilih
Dewi yang sudah cukup lama menetap di Australia kini tinggal di daerah yang juga termasuk dalam daerah pemilihan Jagajaga.
Daerah ini merupakan basis Partai Buruh, dan sejak terbentuk di tahun 1984, selalu dipegang oleh politisi Partai Buruh.
Walau demikian, dalam memilih calon legislatif, Dewi mengaku selalu mempertimbangkan faktor prioritas partai politik.
"Apa yang menjadi prioritas masing-masing partai itu, atau apa yang menjadi retorika dan apa yang sudah kelihatan akan mereka laksanakan," katanya.
Beberapa isu yang menjadi perhatian bagi Dewi dalam pemilu kali ini adalah isu ekonomi, lingkungan hidup dan imigrasi.
"Keringanan pajak harus diberikan secara merata, bukan cuma bagi bisnis raksasa," katanya.
"Tentu saja perekonomian harus mendapat perhatian serius, karena kalau tidak, ekonomi negara bakal anjlok. Tidak ada yang untung," kata Dewi.
"Selain itu harus ada perhatian konkret pada kebijakan untuk mengatasi perubahan cuaca Bumi, serta harus ada pertimbangan yang manusiawi untuk para pengungsi."
Faktor lain yang turut menentukan pilihan seseorang dalam pemilu di Australia, yaitu keterkaitan profesinya dengan spektrum politik yang ada, seperti yang diakui oleh Widha Chaidir.
"Yang menjadi pertimbangan saya dalam memilih, karena latar belakang saya seorang guru, sama dengan tenaga profesional lainnya seperti dosen, perawat, mereka ini bukan kelas atas," tuturnya.
"Saya juga jadi anggota serikat pekerja atau union, jadi perhatiannya lebih pada Partai Buruh (Labor)," kata Widha.
Bagi Andre, seorang warga asal Indonesia yang sudah 10 tahun menjadi warga negara Australia, pertimbangan dalam memilih cukup sederhana.
"Pertimbangan saya tidak banyak sih, karena saya tidak begitu mengikuti politik di sini," katanya.
"Tapi sebagai seorang Muslim, tentu wajar saja kalau misalnya adanya calon yang Muslim atau perhatian pada orang Islam, kemungkinan besar itu yang saya pilih."
Pria asal Jakarta ini tinggal di daerah pemilihan Casey, yang secara tradisional dipegang oleh Partai Liberal yang mewakili wilayah di pinggiran timur Melbourne itu sejak tahun 1984.
Sebelum pemilu kali ini, daerah pemilihan Casey diwakili oleh Tony Smith sejak tahun 2001. Ia kemudian terpilih menjadi ketua DPR Australia pada tahun 2015.
Pertimbangan dalam menentukan pilihan berdasarkan program partai yang terkait langsung dengan pemilih juga menjadi alasan Bela Kusumah, warga asal Indonesia yang tinggal di daerah Ashwood, Melbourne.
Ashwood termasuk dalam daerah pemilihan Chisholm yang saat ini dipegang oleh Partai Liberal, namun Bela menyatakan secara tradisional dia merupakan pemilih Partai Buruh.
"Saya melihat pada program-program sosial, jadi saya lebih ke Partai Buruh. Dulu pernah kerja di pertambangan dan wajib masuk di union (serikat buruh), kalau ada masalah, Partai Buruh yang bantu," jelasnya.
"Tapi juga tergantung situasinya. Kalau misalnya Partai Liberal memberikan program-program yang lebih bagus, pilihan saya bisa saja berubah," kata Bela.
Menurut Bela, isu-isu penting yang terkait langsung dengannya dalam pemilu kali ini di antaranya yaitu tunjangan 'aged care', atau untuk warga lansia dan asuransi kesehatan Medicare. Memberi nomor, bukan mencoblos
Andre mengatakan selama ini dirinya selalu menggunakan 'postal vote' karena lebih praktis dan tidak menghalangi aktivitas lainnya pada saat hari pemilu.
"Caranya, kita apply dulu ke panitia voting, terus nanti dikirimin ballot-nya [kertas suara]," katanya.
"Nah kita isi deh dan pas tanda tangan harus disaksikan sama orang lain. Kita harus kirim balik sebelum tanggal yang ditentukan."
Menurut AEC, jika pemilih datang langsung ke TPS, mereka akan diberikan dua kertas suara: satu untuk Dewan Perwakilan Rakyat, dan satu untuk Senat.
Untuk memberikan suara di DPR, pemilih harus memberi nomor pada kotak di samping nama setiap caleg yang tertera di kertas suara.
Pemberian nomor ini dilakukan sesuai urutan preferensi dari pemilih.
"Kita diminta untuk memberi nomor di dalam kotak itu. Caleg yang paling kita inginkan harus kita beri nomor 1, yang kurang diinginkan diberi nomor 2. Begitu seterusnya," kata Widha.
"Jadi di sini kertas suaranya bukan dicoblos tapi dinomori," ujarnya.
Jadi misalnya ada 10 caleg di satu daerah pemilihan, maka pemilih harus memberikan nomor 1 sampai 10 dalam kotak di samping nama-nama caleg tersebut.
Bila ada kotak yang tidak diisi, maka suara pemilih ini tidak akan dihitung.
Alasannya, menurut AEC, karena Pemilu di Australia menggunakan sistem pemungutan suara preferensial. Artinya, bila di suatu daerah pemilihan tidak ada caleg yang meraih suara mayoritas (50 + 1) maka suara preferensi yang akan menentukan siapa pemenang di daerah pemilihan itu.
Bila ingin lebih tahu cara memberikan suara dalam pemilu Australia, saksikan video "Politik Dijelaskan" dalam Bahasa Indonesia pada tautan di atas.
Simak artikel lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berlinang Air Mata, Perempuan Asal Afghanistan Memohon kepada PM Australia