Pengamat: Ada Empat Catatan Kritis untuk Pilkada Serentak

Rabu, 04 November 2015 – 12:22 WIB
ilustrasi pilkada/ dok jpnn

jpnn.com - JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menyelenggarakan pilkada serentak di 269 kabupaten/kota dan sembilan propinsi. Menurut pengamat politik UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, pesta demokrasi ini merupakan terbesar dan terbanyak di dunia dalam tempo satu hari. 

Dari pengamatannya terhadap pilkada serentak, setidaknya Pangi memiliki empat catatan kritis yang harus menjadi evaluasi ke depan. Pertama, pilkada serentak menjadi tantangan tersendiri karena bisa mengakibatkan komplikasi. Bisa dibayangkan pilkada dilakukan secara bersamaan di 269 daerah, dalam waktu satu hari.

BACA JUGA: Golkar Diprediksi Merapat ke KIH

"Selama ini kita memiliki tradisi mental yang lemah tidak siap kalah dan hanya siap menang, kalau mereka menang akan mengatakan, ini adalah pemilu yang paling jujur dan adil, namun kalau ia kalah mengatakan bahwa ini adalah pemilu tidak adil, tidak bersih dan penuh kecurangan," kata Pangi dalam siaran persnya, Rabu (4/11).

Kedua, baginya sulit membayangkan bagaimana kemudian kemampuan Mahkamah Konstitusi (MK) secara bersamaan menghadapi banjirnya gugutan yang diajukan oleh pasangan kepala daerah yang kalah ke MK. Tabiat seperti pengalaman yang sudah - sudah, yang kalah pasti mengajukan gugatan ke MK.

BACA JUGA: Kemenag Harus Tuntaskan Hak Korban Tragedi Mina

Ketiga, tidak bisa dipungkiri bahwa pilkada serentak membutuhkan jumlah personel aparat keamanan yang tidak sedikit jumlahnya guna menjamin keamanan pelaksanaan pilkada serentak. Bisa dibayangkan kalau di setiap daerah pemilihan terjadi chaos dan konflik. Artinya, pilkada serentak sangat rentan dan berisiko tinggi terkait potensi konflik.

"Sejauh mana kesiapan aparat keamanan menjamin terselenggaranya pilkada serentak yang aman dan tertib? Presiden mesti bertanggung jawab kalau kemudian terjadi cuaca dis order (ketidakteraturan) yang menganggu stabilitas politik nasional," ujarnya.

BACA JUGA: Coming Soon! Paket Kebijakan Ekonomi Tahap VI

Terakhir, Pangi menyarankan sebaiknya anggaran pilkada bukan dari APBD namun dibebankan ke anggaran APBN. Tidak boleh APBD tersedot untuk biaya pemilu. APBD harus diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat di daerah.

"Pusat tidak boleh jadi lintah darat menghisap daerah. Miris ketika di Kabupaten Rokan Hulu sebelumnya mengangarkan 8 miliar sekarang naik jadi 23 milyar. Begitu juga di kabupaten Palalawan dari 11 milyar ke 21 milyar. Ini bukan hemat dan efisien, namun musibah demokrasi," ungkapnya memberi contoh.

Pangi menambahkan, nilai utama diperjuangkannya pilkada serentak adalah prinsip efektifitas dan efisiensi. Namun dari segi anggaran, pilkada serentak belum menunjukkan tanda biaya yang hemat, justru lebih boros dibandingkan pilkada- pilkada sebelumnya.

"Pilkada serentak tujuannya adalah efisien. Kalau indikator ini tidak tercapai sama saja bohong, buktinya masih boros. Prasyarat pilkada serentak yang hemat apabila dilakukan secara bersamaan di satu provinsi baik pemilihan guburnur, bupati dan walikota," sebut Pangi.

Selain itu desainnya pilkada serentak Desember 2015 belum menunjukkan sinyal efisiensi bisa dilihat dari anggaran yang semula Rp 5 triliun bergeser ke angka Rp 6,89 triliun. Pilkada serentak sebetulnya menghemat anggaran yang cukup signifikan apabila penyelenggaraannya secara bersamaan baik memilih gubernur, bupati dan walikota dalam satu provinsi.

Sementara dari 269 daerah yang ikut pilkada serentak Desember 2015 hanya 9 provinsi yang dilaksanakan pilkada serentak secara bersamaan dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota, sehingga prinsip bersamaan  bisa menghemat dan memangkas honor petugas KPPS, PPS, PPK dan PPL dan lain-lain.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bang Uchok: Pansus Pelindo II Cuma Positif buat Segelintir Elite


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler