Pengamat Anggap Normal AHY Mengkritik Revolusi Mental Jokowi

Minggu, 17 Juni 2018 – 11:25 WIB
Agus Harimurti Yudhoyono pidato di depan ribuan kader Partai Demokrat. Foto: M. Fathra NI/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menganggap kritik Agus Harimurti Yudhoyono terhadap program-program pemerintahan Joko Widodo yang kurang sukses merupakan fenomena lumrah, normal dan bagian dari dialektika berbangsa.

Dalam demokrasi, menurut Budiyono, partai di luar pemerintahan baik sebagai penyeimbang atau oposisi memiliki pijakan kuat, baik dari sisi konstitusional maupun tradisi demokrasi untuk memberikan kritik kepada penguasa.

BACA JUGA: Ternyata Ini Tujuan AHY Mengkritik Revolusi Mental

“Dengan kata lain, masukan atau kritik dari Agus Harimurti Yudhoyono tentang program-program pemerintah yang kurang sukses merupakan fenomena lumrah, normal dan bagian dari dialektika berbangsa,” kata Budiyono dalam siaran persnya, Sabtu (16/6) malam.

Kritik terbaru dilontarkan Ketua Komando Tugas Bersama Partai Demokrat (Kogasma PD), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait program Revolusi Mental Pemerintahan Jokowi.

BACA JUGA: Usai Bertemu Jokowi di Istana Bogor, AHY Bilang Begini

AHY yang diadang-adang sebagai capres/cawapres dari Partai Demokrat itu, menganggap revolusi Mental semakin tidak terdengar. Program pembangunan manusia itu gaungnya justru dikalahkan oleh deru pembangunan jalan tol dan jembatan.

Menurut Budiyono, pandangan politik AHY dan keluarga besar Partai Demokrat (PD) tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran SBY, sang ikon PD.

BACA JUGA: Mudik Makin Lancar, Misbakhun Puji Kerja Keras Jokowi

Menilik perjalanan SBY, menurut Budiyono, dia merupakan politikus yang mengedepankan pembangunan manusia, sebelum pembangunan fisik termasuk infrastruktur. Hal itu dapat dilihat dari “rekor” APBN era SBY yang untuk pertama kalinya mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan. Bahkan untuk menjamin keberlanjutan anggaran yang fokus pada pembangunan SDM itu, diamankan melalui UU.

“Dari sini kita bisa melihat bahwa secara substansi, AHY dan PD cukup terganggu dengan terseok-seoknya program Revolusi Mental Jokowi yang sebelumnya diharapkan dapat mengubah kultur lama yang negatif di bangsa ini, menjadi energi positif,” kata Budiyono.

Indikatornya, menurut Budiyono, bisa dilihat di dunia maya, dimana sejak 2014 sampai saat ini, warganet seolah terbelah antara kubu Jokowi dan Prabowo. Cacian dan hujatan semakin hari bukannya menurun, justru menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan.

Padahal sebelumnya sosial media diharapkan membawa perdebatan cerdas dan sportif yang sebelumnya hanya ada di kampus, menjadi bisa dinikmati banyak kalangan, khususnya generasi milenial.

“AHY merasa situasi seperti itu seharusnya tidak terjadi bila revolusi mental sukses dijalankan,” kata pengajar FISIP Universitas Al Azhar Indonesia ini.

Lebih lanjut, Budiyono mengatakan dari sisi substansi kritik AHY ke Jokowi menjelang Pilpres 2019 menunjukkan bahwa Partai Demokrat sepertinya ingin mengirim pesan kepada Jokowi dan koalisinya untuk tidak terlalu berharap agar PD masuk koalisi.

Sebelumnya, kata dia, SBY juga menunjukkan behavioral politik yang bisa dimaknai mulai bergersernya PD dari pusaran Jokowi. Pidato-pidato Jokowi yang kerap menyalahkan masa lalu sepertinya turut memengaruhi perubahan sikap PD ini.

“Namun ke mana PD akan melangkah belum bisa kita pastikan. Prabowo yang sabar menunggu “bola muntah” PD juga belum bisa berharap banyak,” katanya.

Hal ini, kata dia, karena baru-baru ini SBY justru mengatakan bahwa agenda terdekat PD adalah membantu rakyat terlebih dahulu, daripada memilikirkan koalisi, baik koalisi pemerintah maupun yang baru muncul, koalisi keumatan.

“Sebuah pernyataan simbolik yang makin mempertegas karakter PD sebagai kekuatan penyeimbang,” tegas Budiyono.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bang Ruhut Terkekeh-kekeh Dengar Amien Rais Mau Jadi Capres


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler