Pengamat Beber Lima "Dosa" Jokowi dalam Konflik KPK-Polri

Minggu, 08 Februari 2015 – 19:08 WIB
Presiden Joko Widodo. Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, menilai Presiden Joko Widodo merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas terjadinya kisruh berkepanjangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri.

Pandangan ini didasari sejumlah kesalahan yang diduga dilakukan presiden. Seperti sebut Said, tetap mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri, padahal sebelumnya telah menerima catatan dari KPK tentang dugaan keterlibatan BG dalam kasus rekening gendut dan penerimaan gratifikasi. Bahkan setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap BG, presiden tetap kukuh mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR.

BACA JUGA: Tudingan Denny Cemarkan Nama Baik BG Tak Dapat Dibenarkan

“Kalau Presiden memperhatikan masukan KPK dan tanggap terhadap munculnya resistensi publik atas pencalonan BG, maka niscaya masalahnya tidak akan serumit sekarang. Presiden pada saat itu sebetulnya punya kesempatan menganulir pencalonan Budi Gunawan, tetapi hal itu ternyata tidak dilakukan,” katanya, Minggu (8/2).

Kesalahan lain, kata Said, Jokowi terlalu cepat memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri. Padahal di sisi lain, Presiden belum berkehendak melantik BG, setelah DPR memberikan persetujuan. Akibatnya, dalam institusi kepolisian terjadi ketidakjelasan kepemimpinan.

BACA JUGA: Pemuda Muhammadiyah: Menghancurkan KPK Berarti Melawan Kami

“Betul ada Wakapolri Badrodin Haiti yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas Kapolri, tapi Badrodin juga sadar posisi BG jauh lebih kuat daripada dirinya. Sebab, secara ketatanegaraan, BG sudah resmi diusulkan dan disetujui menjadi Kapolri oleh dua institusi negara yang dipilih langsung oleh rakyat bernama presiden dan DPR. Sedangkan Badrodin hanya pelaksana tugas,” katanya.

Kondisi tersebut menurut pemerhati politik dan kenegaraan ini, pada gilirannnya membuat BG leluasa memainkan pengaruhnya di dalam institusi Polri. Antara lain, dilakukannya pergantian Kabareskrim Mabes Polri dari Suhardi Alius ke Budi Waseso, yang disebut-sebut karena pengaruh BG.

BACA JUGA: Amien Rais yang Dulu, Jauh Berbeda Dengan yang Sekarang

“Andaikata Suhardi tak diganti, maka belum tentu muncul kasus penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Belum tentu juga akan muncul laporan demi laporan yang memperkarakan pimpinan KPK yang lain. Bahkan boleh jadi tidak akan muncul konflik KPK-Polri,” katanya.

Kesalahan presiden berikutnya menurut Said, tidak berani mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan Tim Independen. Presiden terlihat tidak punya nyali memformalkan tim tersebut, karena disebut-sebut mendapatkan penolakan dari ketua umum partai pendukung presiden.

Padahal, andai saja tim independen dibentuk secara formal, seperti tim delapan yang pernah dibentuk Presiden SBY pada konflik KPK-Polri sebelumnya, maka penyelesaian bisa semakin cepat. Hasil kerja tim independen bisa dijadikan dasar pertimbangan bagi presiden untuk menyelesaikan masalah.

“Kesalahan ke empat Presiden, tidak menggunakan kekuasaannya terhadap institusi kepolisian. Kalau saja Presiden memahami makna pasal 8 UU Kepolisian, seharusnya dia bisa menyelesaikan masalah secara lebih cepat. Dalam pasal itu ditegaskan institusi kepolisian berada di bawah presiden dan Kapolri bertanggungjawab kepada presiden. Artinya, dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan presiden dengan Kapolri dan seluruh personel kepolisian adalah hubungan antara atasan dan bawahan,” katanya.

Oleh sebab itu, Said melihat justru sangat aneh, ketika istana bilang Presiden sudah beberapa kali meminta BG mundur dalam proses pencalonan, tetap yang bersangkutan tidak mau. Sikap ini, kata Said, memelihatkan presiden diabaikan oleh BG. Padahal, permintaan presiden kepada bawahannya harus dipandang sebagai suatu perintah.

“Dengan demikian dapat dikatakan Budi Gunawan telah bersikap tidak patuh dan tidak tunduk pada perintah Presiden yang merupakan atasannya. Tidak berlebihan jika ada yang menyebut hal itu sebagai bentuk pembangkangan calon Kapolri terhadap seorang presiden. Ini kan jadi aneh. Masa presiden seperti tidak berkutik pada seorang calon Kapolri,” katanya.

Kesalahan presiden berikutnya, ketika kembali menunda penyelesaian masalah konflik KPK-Polri dengan pergi keluar negeri. Dampaknya, kata Said, di dalam negeri permasalahan semakin ruwet. Polri semakin keras dengan menyuarakan kemungkinan seluruh pimpinan KPK akan ditetapkan sebagai tersangka. Lalu Menkumham merespons hal itu dengan mewacanakan penerbitan Perppu tentang pengangkatan pelaksana tugas (Plt) komisioner KPK.

“Muncul pula Kompolnas yang mulai menyodorkan nama-nama baru calon Kapolri, padahal nasib Budi Gunawan sendiri belum jelas ujungnya. Kompolnas bahkan memainkan jurus baru dengan mencoret nama Suhardi Alius dalam daftar nama calon Kapolri tanpa alasan yang jelas,” katanya.(gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Posisi Presiden dan DPR Lebih Kuat, Kenapa Harus Takut Sama BG?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler