jpnn.com - Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho ikut menyoroti langkah DPR yang memasukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024.
Hardjuno menilai bahwa keputusan itu janggal karena RUU Pengampunan Pajak tersebut secara mendadak masuk dalam longlist usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR, sehingga perubahan mendadak menjadi pertanyaan publik.
BACA JUGA: Tegas, YLKI Tolak Kenaikan PPN 12 Persen
“Mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi justru diabaikan?,” tanya Hardjuno di Surabaya, Jumat (22/11).
Dia mengungkapkan RUU Perampasan Aset adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya.
BACA JUGA: AKP Dadang Iskandar Pembunuh Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Terancam Dihukum Mati
“Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ujarnya.
Menurutrnya, lolosnya RUU Tax Amnesty kedalam daftar Prolegnas prioritas adalah titipan pengusaha, terutama pengusaha hitam yang mengemplang pajak selama ini. Selama ini, para pengemplang pajak terus menghindar dari kewajiban membayar pajak.
BACA JUGA: Pramono-Rano Bisa Menang Satu Putaran Jika Anak Abah-Ahoker Bersatu
Karena itu, mereka diduga melobi DPR akan membuat regulasi pengampunan pajak jilid III terhadap mereka.
“Saya ajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengawal RUU ‘siluman’ ini. Ini bentuk ketidakadilan di negara ini. Orang kaya diusulkan beri Tax Amnesty, sementara rakyat jelata dicekik pajaknya,” tegas Hardjuno.
Tak hanya soal RUU Tax Amnesty, dia juga mengeritik keras kontroversial dalam fit and proper test pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu calon yang akhirnya terpilih secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menghapuskan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Ironisnya, pernyataan tersebut justru mendapat tepuk tangan dari anggota DPR, padahal OTT telah menjadi metode yang efektif dalam menangkap para pelaku korupsi.
“OTT adalah salah satu bukti nyata keseriusan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, dalam memberantas korupsi,” lanjut Hardjuno.
Dia mencontohkan OTT yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap seorang mantan hakim Mahkamah Agung (MA) dengan barang bukti suap sebesar Rp1 triliun.
“Langkah ini menunjukkan bahwa OTT tidak hanya efektif, tetapi juga menjadi pesan moral bahwa hukum bisa menyentuh siapa saja,” tegasnya.
Keputusan untuk tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset menurut Hardjuno sangat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi.
Padahal, regulasi ini dapat mempercepat proses pengembalian aset negara yang dikorupsi.
“RUU ini penting untuk memastikan keadilan. Hasil korupsi harus dikembalikan ke rakyat, bukan justru dibiarkan menjadi aset pribadi yang dinikmati segelintir orang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hardjuno mempertanyakan alasan mendadak di balik prioritas RUU Pengampunan Pajak.
“DPR seharusnya mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni memberantas korupsi, bukan meloloskan kebijakan yang berpotensi memberikan keuntungan bagi segelintir pelaku pelanggaran pajak,” tandas Hardjuno. (mcr23/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Ardini Pramitha