jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal memprediksi mutu pendidikan di Indonesia tidak akan pernah meningkat, bahkan sulit mengejar Vietnam bila tidak ada perubahan orientasi.
Perubahan orientasi pendidikan harus dimulai dari kebijakan kementerian, pemda, dan sekolah.
BACA JUGA: Perlu Inovasi untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia
"Kalau orientasi pendidikan hanya mentransfer pengetahuan, buku cetak. Kemudian online itu hanya memindah isi buku dan tatap muka secara daring maka saya pastikan kualitas pendidikan bangsa ini tidak akan pernah naik mutunya. Dan tidak akan bisa mengejar Vietnam contohnya," kata Rizal dalam webinar metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Hybrid System melalui program e-Learning System, Rabu (15/7).
Dia melanjutkan, yang harus dilakukan adalah membangun ekosistem inovasi dan fleksibilitas.
BACA JUGA: MPR: Perlu Mewaspadai Penurunan Kualitas Pendidikan Selama Pandemi Covid-19
Beri ruang bagi anak untuk tidak takut salah dalam proses belajarnya.
Regulasinya jangan pakai asesmen nilai karena masing-masing anak berbeda daya nalarnya dalam memahami suatu masalah.
BACA JUGA: UN untuk Pemetaan Kualitas Pendidikan? Apa Langkah Atasi Kesenjangan?
Di era gawat darurat ini pendidikan tidak boleh hanya berdasarkan pada buku pelajaran.
"Orientasi belajar harus didasarkan pada kondisi di lapangan, kenyataan di lingkungan rumah. Sehingga kolaborasi antara orang tua, siswa, dan guru bukan karena dipaksa belajar buku pelajaran tetapi metakognisi," tutur pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini.
Metakognisi maksudnya adalah belajar bagaimana caranya belajar.
Belajar bisa ditemukan di lingkungan, komunitas, bahkan di persoalan dunia.
GSM, lanjutnya, sudah mengembangkan training blended learning atau hybrid learning yang mengkombinasikan tatap muka, online, dan paling penting adalah orientasinya praktik problem solving. Revolusi belajar anak diajarkan abstract thinking sehingga anak bisa menganalisis dengan baik.
"Blended learning atau hybrid learning adalah orierasi kurikulumnya, orientasi pengawas sekolah, asesmen, guru, tidak hanya mencekokkan pengetahuan kepada siswa tetapi mendorong sistem agar anak itu bisa menemukan sendiri pengetahuannya. Bisa mengolah dan menganalisis sendiri pengetahuannya serta memilih sendiri pengetahuannya," jelas Rizal.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini menegaskan, ini harus jadi rujukan utama pada orientasi kebijakan politik pendidikan bangsa ini. Baik dari kementerian, pemda, dan sekolah.
"Sayangnya, orientasi kurikulum, model penilaian asesmennya, dan model pengembangan gurunya belum mampu mendorong guru punya kemampuan berinteraksi, berkolaborasi. Ini yang harus dibongkar lewat hybrid learning," ucapnya.
Dunia pendidikan harus membuat platform perubahan pendidikan. Hybrid learning harus mendorong orientasi pendidikannya mengubah perilaku dan menciptakan layanan baru. Yaitu mengumpulkan segala potensi minat dan bakat guru, sekolah serta anak didik menjadi layanan baru.
"GSM adalah platform perubahan pendidikan. Jadi sekolah-sekolah pinggiran, guru-guru yang tidak favorit, tidak punya akses internet bisa mengembangkan diri sehingga lebih adaptif," tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad