Pengamat: Jangan Sampai Terjebak Utang

Senin, 16 September 2019 – 23:09 WIB
Ilustrasi rupiah dan dolar. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan mengatakan, perekonomian Indonesia saat ini dalam kondisi berisiko tinggi karena menghadapi efek dari perlambatan ekonomi global. Hal ini mengingat indikator-indikator ekonomi sedang mengalami kelesuan. Akibatnya, tekanan dari perekonomian global akan sangat mudah memberikan efek negatif.

Menurut Herry, kondisi perlambatan perekonomian global antara lain terjadi akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok yang hingga saat ini masih berlangsung.

BACA JUGA: Pemindahan Ibu Kota Butuh Rp 466 Triliun, Mau Tambah Utang Lagi?

“Indonesia sangat mudah terpengaruh karena daya tahan di dalam negeri juga lemah,” ujar Herry dalam diskusi Ngopi atau Ngobrol Perkembangan Indonesia di Jakarta, Senin (16/9).

Menurutnya, yang berpeluang terpukul pertama adalah ekspor Indonesia. Saat ini saja, kinerja perdagangan internasional Indonesia belum menggembirakan.

BACA JUGA: Soal Pemindahan Ibu Kota, Andre Rosiade Khawatir Pemerintah Utang ke Tiongkok

Dia menambahkan, pada Agustus 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor Indonesia yang sebesar USD 14,28 miliar turun 9,99 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bahkan secara kumulatif, yaitu Januari-Agustus 2019 turun 8,28 persen dibandingkan periode serupa tahun sebelumnya.

“Bahkan pada April 2019, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan yang terburuk sepanjang sejarah. Ditambah dalam kondisi sekarang, ketika banyak negara protektif terhadap pasarnya sebagai antisipasi perlambatan ekonomi global, kondisinya bisa semakin buruk,” kata Herry.

Dia memaparkan akibat nyata dari kondisi yang dihadapi sekarang, indeks manufaktur Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam. Pada Agustus, posisinya sebesar 49,0 dari 49,6 di bulan selanjutnya.

“Data itu menunjukkan bahwa kondisi industri manufaktur Indonesia sedang sangat lesu,” ujarnya.

Menurut Herry, indeks tersebut menggambarkan lesunya pesanan barang kepada industri manufaktur, sehingga berdampak terhadap penurunan aktivitas produksi sebagai respons terhadap melemahnya pesanan.

Selain itu, lanjut Herry, tekanan terhadap perekonomian bukan hanya datang dari neraca perdagangan yang buruk sehingga pada akhirnya menurunkan kualitas neraca pembayaran, tetapi juga posisi keuangan pemerintah yang kurang menggembirakan. Realisasi penerimaan negara hingga Juli 2019 hanya 49 persen dari total target. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sudah mencapai 52 persen.

Lemahnya penerimaan ini, ujar dia, sangat memengaruhi kas pemerintah atau yang biasa disebut dengan keseimbangan primer (primary balance). Sejak 2012, keseimbangan primer – penerimaan dikurangi belanja (tanpa memasukkan pembayaran utang) – sudah minus.

“Dengan kantong (pemerintah) yang minus itu, jalan yang mungkin diambil oleh pemerintah adalah utang baru dan menurunkan subsidi,” ungkapnya.

Herry memaparkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah memastikan mengurangi subsidi energy terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. Jika pada 2019 nilainya Rp100,7 triliun, kini tersisa Rp70 triliun.

“Konsekuensinya kan ada potensi kenaikan harga BBM, yang biasanya diikuti oleh harga barang dengan alasan ongkos transportasi naik,” katanya.
Nah, kata Herry, upaya lain untuk menambal kas yang negatif tersebut adalah dengan berutang. Menurut Herry, kondisi ini harus diantisipasi Indonesia agar tidak terjerat dalam jebakan utang.

“Utang untuk menambal kas yang minus ini kan seperti jebakan ‘lingkaran setan utang’, karena tidak bisa keluar dari jeratan. Melingkar di situ-situ saja, yaitu numpuk utang terus untuk membayar utang juga,” ujarnya.

Menurut dia, hingga Juli 2019 utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 4.604 triliun. Sebagian besar atau 83 persen dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Data Bank Indonesia menyebutkan bahwa 59,27 persen pemberi utang adalah asing. Kondisi serupa juga terjadi di SBN, yaitu 51,12 persen dipegang oleh asing. Dominasi tersebut terjadi sejak 2017.

Herry menegaskan, khusus utang melalui SBN, berpotensi memberikan dampak yang cukup serius. Potensi terjadinya penarikan tiba-tiba (sudden reversal) sangat tinggi, karena “ideologi” investor di portofolio keuangan adalah keuntungan sesaat. Artinya, jika ada potensi keuntungan lebih dari instrumen lain, terutama dari negara lain, saat itu juga dana di SBN bisa dilepas.

“Karena mayoritas surat utang dipegang asing, saat ditarik keluar akan dikonversi ke dalam dolar AS. Akibatnya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah makin kuat,” paparnya.

Indikator-indikator yang diungkapkan tersebut, Herry menandaskan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sangat rentan. “Mudah masuk angin alias berisiko tinggi,” tegasnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler