jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam mengatakan kredibilitas lembaga survei mengalami ujian terberat pada Pemilu 2024.
Pasalnya, sejumlah lembaga survei juga berperan sebagai konsultan politik sehingga memiliki kecenderungan dan berupaya menggiring opini publik untuk capres tertentu.
BACA JUGA: Pakar: Lembaga Survei Dapat Pesanan Menangkan Prabowo-Gibran
“Ujian paling berat lembaga survei sepanjang pemilu pasca-reformasi menurut saya, ya, kali ini, Pemilu 2024,” ujar Surokim pada Senin (11/12/2023).
Menurut dia, lembaga survei terjebak ke dalam perangkap sebagai konsultan politik. Padahal keduanya memiliki porsi tugas yang berbeda.
BACA JUGA: Lembaga Survei Dunia Ungkap Elektabilitas Anies 28,91 Persen Seusai Putusan MK
Dia menyebut kondisi itu merupakan lampu merah bagi penyelenggara Pemilu. Situasi ini sungguh patut diwaspadai dan dijaga khususnya oleh para penyelenggara pemilu agar kepercayaan publik bisa pulih.
“Sebab, esensi demokrasi elektoral itu legitimasi dan trust (kepercayaan) dan ini wajib dijaga semua pihak jika kita ingin Pemilu 2024 meningkat kualitasnya secara substantif,” ungkap Surokim.
BACA JUGA: Prabowo-Gibran dapat Suntikan Dukungan dari Pemilih Loyal Jokowi 2019
Menurut Surokim, untuk membuktikan apakah hasil survei tersebut didapatkan dengan cara-cara yang benar dan bukan pesanan, maka perlu ada survei lain.
“Sebenarnya saya berharap akan muncul lembaga survei pembanding yang lain agar dapat membandingkan dan menemukan intersubjectivity itu sehingga akan lebih mudah memberi penilaian,” ujar Surokim.
Jika lembaga survei terbatas, maka absolutisme dan hegemonik data bisa terjadi. Meski begitu, Surokim tetap yakin bahwa Lembaga Survei bisa memainkan perannya pada pesta demokrasi ini.
“Saya masih meyakini lembaga survei di Indonesia dapat menjadi oksigen demokrasi elektoral dan masih punya masa depan untuk menjadi bahan referensi dan edukasi public. Oleh karena itu, lembaga survei yang muncul dari banyak pihak sungguh diharapkan,” tegas Surokim.
Kurangnya Nalar Kritis
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menganggap ada kesenjangan pengetahuan atas asas dan tata cara pemilu demokratis bekerja.
Hal ini disampaikan Ray terkait hasil survei Lembaga Survei Indonesi (LSI) yang memotret pihak yang berpeluang melakukan kecurangan.
Survei LSI itu menilai pasangan Ganjar-Mahfud dianggap paling potensial melakukan kecurangan, yakni sebanyak 20,6 persen; Prabowo-Gibran 14,4 persen; dan Anies-Muhaimin hanya 5,4 persen.
“Khususnya, menurutku, di kalangan kaum Generasi Y/Z. Mereka belum sepenuhnya menerima apa dan bagaimana Pemilu demokratis yang sebenarnya. Dengan hanya mendasarkan diri pada info-info sekilas di berbagai tayangan media sosial, mereka menebalkan makna apa itu kecurangan pemilu dan pemilu yang demokratis," ujar Ray.
Menurut Ray, hal itu pula yang membuat mayoritas publik kurang peka terhadap isu demokrasi.
"Itulah kiranya mengapa mereka kurang sensitif pada isu (politik) dinasti, isu putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang cacat etik berat, berbagai contoh ketidaknetralan aparat dan sebagainya. Mereka menerima atau menolaknya dengan begitu saja. Tanpa kritisisme,” ujar Ray.
Pasangan capres-cawapres nomor 3 Ganjar-Mahfud MD pun terkena imbas. Mereka dinilai paling berpeluang melakukan pelanggaran.
"Itulah sebabnya, mengapa Ganjar dan Mahfud dianggap paling potensial melakukan pelanggaran,” kata Ray.
Ray juga menyoroti dampak dari media sosial yang lebih mengutamakan pelanggaran salah satu calon dibandingkan calon yang lain.
“Hal itu semakin membuat nalar kritis masyarakat makin meredup," pungkas Ray.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari