jpnn.com, JAKARTA - Pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai (kantong kresek) di tempat perbelanjaan seperti toko, swalayan, dan pasar rakyat dinilai tidak cukup untuk mengatasi masalah sampah plastik di Indonesia.
Hal itu karena sampah dalam bentuk lain dan berbahan plastik tetap dominan ditemukan di tempat pembuangan akhir, jumlahnya pun tak kalah mengerikan.
BACA JUGA: Menteri Siti Mengapresiasi Produsen yang Aktif Menekan Sampah Plastik
“Jumlah sampah plastik menggunung dan makin tinggi seiring dengan pertumbuhan industri. Itu karena industri masih mengandalkan plastik sekali pakai sebagai kemasan,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Senin (13/7).
Greenpeace Indonesia telah melakukan audit merek pada 2019, hasilnya salah satu penyumbang sampah terbesar di Indonesia ialah sampah plastik dari industri makanan dan minuman.
BACA JUGA: 2 Pria Ini Bawa Plastik Kemasan Teh China, Oh Ternyata
Banyaknya temuan sampah plastik dikarenakan masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah plastik, terlebih bagi para produsen yang kini justru gencar menjual produk dalam kemasan ekonomis, seperti kemasan sachet.
"Jadi dari temuan ini, jelas bahwa kantong kresek bukan menjadi sumber utama dari melimpahnya timbulan sampah plastik di TPA-TPA ini," katanya.
BACA JUGA: Berkah! Penemu Uang Rp 500 Juta di KRL Diangkat Jadi Karyawan Tetap Menteri Erick
Oleh Karena itu, menurut Greenpeace, pemerintah pusat dan daerah jangan hanya terpaku pada pelarangan kantong kresek, tetapi juga kemasan-kemasan berbahan plastik sachet, botol-botol shampo, sabun mandi cair, deterjen, dan bungkus-bungkus mie instan.
"Kebijakan pelarangan kantong plastik sekali pakai bukan solusi, untuk mengatasi permasalahan sampah plastik ini. Itu hanya temporer dan tidak menyelesaikan persoalan limbah sampah plastik yang ada saat ini," kata Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, Hengky Wibawa.
Dia menyarankan perlu dibuat pembuatan Tempat Penampungan Sementara Terpilah (TPST) yang tidak hanya memilah jenis sampah dari rumah, tetapi pengangkutan sampahnya juga sudah dilakukan secara terpilah sesuai jenis sampahnya.
"Seharusnya kita mencari solusi dengan berkolaborasi. Kalau pelarangan itu menurut saya karena pemerintah panik saja," tambahnya.
Jadi menangani masalah sampah plastik ini harus melalui edukasi yang terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar bijak berplastik. Mulai dari mengonsumsi plastik sesuai kebutuhan (reduce), memilah-milah sampahnya dari rumah agar bisa di daur ulang (recycle).
Terakhir, menggunakan plastik-plastik yang masih bisa digunakan kembali (reuse).
"Nyatanya, Surabaya bisa melakukannya. Mereka dinilai mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3R yakni reduce, reuse, recycle. Masyarakat juga bisa mengambil nilai ekonomis dari sampah,' lanjutnya.
Dengan keberhasilan masyarakatnya mengelola sampah dengan baik, Surabaya bisa menjadi menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik.
"Kalau di sana bisa, harusnya di tempat lain juga bisa," imbuhnya.
Selain masyarakat, industri yang memproduksi produk-produk kemasan plastik juga harus ikut berperan dalam pengurangan hadirnya sampah plastik.
Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, Hengky Wibawa meminta pemerintah jangan terlalu cepat mengeluarkan kebijakan pelarangan yang sifatnya mungkin hanya sementara.
Saat ini, sektor industri daur ulang mampu menyerap lebih kurang 4 juta lapangan kerja.
Menurutnya, Indonesia juga perlu mencontoh negara-negara lain dalam menerapkan bijak berplastik.
Di Jepang misalnya, jarang ditemukan sampah berserakan di jalanan. Itu karena setiap rumah tangga di Jepang tidak bisa begitu saja memasukkan semua sampah ke dalam satu kantong.
"Sampah-sampah mereka harus dimasukkan ke dalam kantong terpisah. Begitu juga di negara Jerman, di setiap rumah tersedia empat macam tempat sampah sesuai fungsinya. Kalau ada kesalahan, sampah tersebut bahkan tidak akan diambil oleh petugas, dan pemilik sampah akan mendapatkan surat teguran dari pemerintah," katanya.
Sedangkan di Inggris, setiap rumah diberikan tiga buah tempat sampah ukuran sedang dan dengan warna yang berbeda pula.
Ada warna hijau, cokelat dan biru tua. Ditutup masing-masing kotak sampah ini memiliki informasi sampah apa saja yang harus dimasukkan.
"Jadi kunci keberhasilan pengelolaan sampah di negara-negara itu adalah adanya edukasi dan keseriusan dalam menjalankan pengelolaan sampah dengan baik. Jika mereka bisa, kenapa Indonesia tidak bisa?" tutupnya. (esy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad