jpnn.com, JAKARTA - Pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan sistem paket lebih baik dilakukan secara musyawarah ketimbang dengan cara voting.
"Sebaiknya musyawarah yang ditempuh, jangan voting supaya tetap terjaga muruah MPR," kata pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, Sabtu (27/7) malam.
BACA JUGA: Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Harus Menunggu Momen Yang Tepat
Direktur EmrusCorner itu menegaskan dari namanya saja MPR itu Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga musyawarah harus dikedepankan.
"Majelis permusyawaratan masa tidak musyawarah. Kalau menentukan pemimpin saja tidak musyawarah, bagaimana mau mengambil keputusan yang lain," ujarnya.
BACA JUGA: GBHN Dihidupkan Lagi, Buka Peluang MPR Bisa Makzulkan Presiden
Oleh karena itu, ujar Emrus, MPR harus menunjukkan mereka bisa mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan, yang dimulai dari memutuskan siapa yang memimpin lembaga tinggi negara tersebut.
Menurut dia, sosok pimpinan MPR juga haruslah yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, atau bisa dikatagorikan sebagai negarawan.
BACA JUGA: Wacana Menghidupkan GBHN Perlu Kajian Mendalam
“Bila politisi di legislatif negarawan, pasti menginginkan musyawarah. Bila politisi di legislatif politikus, pasti lebih memilih voting," ujarnya.
“Maka dari itu harusnya dipilih dengan musyawarah dan sosoknya harus negarawan," tambah Emrus.
Seperti diketahui, pemilihan pimpinan MPR dilakukan dengan sistem paket. Berdasar Pasal 427C Ayat 1 Huruf a Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua dan empat wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pasal 427C Ayat 1 Huruf b menyatakan, pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada huruf a dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perlu Haluan Negara agar Pembangunan Terarah dan Berkesinambungan
Redaktur & Reporter : Boy