jpnn.com - JAKARTA – Pengamat politik dari Indonesia Public Policy Institute (IPPI), Agung Suprio menyatakan tidak ada acuan baku untuk sebuah reshuffle kabinet. Cuma di Indonesia, kata Agung, prosesnya tidak wajar sehingga berefek negatif terhadap kinerja menteri dan birokrat.
“Wacana reshuffle yang saat ini menggelinding dimulai sejak Oktober 2015. Sudah cukup lama memang. Efeknya menteri tak nyaman dan berdampak buruk terhadap birokrat. Ini yang saya maksud tidak wajar itu,” kata Agung saat diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Reshuffle Kabinet” di Pressroom DPR, Jakarta, Kamis (14/4).
BACA JUGA: Akom Malas Tanggapi Wacana Setoran Rp 20 M
Menurut Agung, karena isu reshuffle, birokrat cenderung menunggu hasil reshuffle untuk menyempurnakan organisasinya.
“Mestinya presiden tegas saja menyatakan tidak ada reshuffle sehingga para menteri nyaman bekerja dan birokrasi tidak ragu dalam menyempurnakan unit-unit organisasinya," saran dia.
BACA JUGA: Kajati Klaim Bukan Penerima Suap, Jadi Siapa Dong?
Karena isu reshuffle ini menggelinding berbulan-bulan, menurut Agung bisa dijadikan indikasi bahwa presiden dengan wakil presiden belum ada koordinasi.
Menurut Agung, mestinya menteri diganti karena kinerjanya tidak bagus. Itu mestinya yang diukur. Sayangnya saat reshuffle pertama Presiden Jokowi tidak mengungkap indikator pergantian menterinya.
BACA JUGA: MPR Gunakan Keroncong untuk Populerkan Empat Pilar
Reshuffle yang dilakukan presiden terkesan karena tekanan publik. Misalnya, dalam kasus kebakaran hutan atau karena gaduh para menteri seperti yang terjadi antara Menko Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said.
“Yang konsisten disuarakan agar diganti hanya satu yakni Menteri BUMN Rini Soemarno,” pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dicecar Soal Rapat Raperda, Calon Wakil Ahok Bilang...
Redaktur : Tim Redaksi