jpnn.com, BOGOR - Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna menilai adanya premanisme yang terjadi di pasar khususnya Pasar Tumpah, Jalan Raya Merdeka, Bogor Tengah, bentuk ketidaktegasan aparat.
Di juga melihat hal itu bisa berdampak kepada publik yang tidak lagi percaya dengan aparat penegak hukum.
BACA JUGA: Pembongkaran Pasar Tumpah Bogor Dibatalkan, Warga Ancam Bongkar Sendiri
"Adanya pungli bukti buruknya tata kota dan pemanfaatan tata ruang publik, sebab ada kategori underground economic di kota yakni bisnis ekonomi yang sebetulnya menjadi sebuah kebutuhan kelompok informal yang mereka termarginalkan karena tidak punya aset," kata Yayat, Minggu (17/18).
Yayat mengatakan kehadiran preman jadi aktor yang merasa punya kuasa dan sudah dianggap lumrah selama ini sehingga terjadi konflik horizontal di pasar yang jadi sentra ekonomi.
BACA JUGA: Pedagang Pasar Baru Gresik Yakin Pilih Khofifah-Emil: Pemimpin yang Terbukti Merakyat
"Ya, karena mereka itu memperebutkan jasa keamanan dan jasa parkir. Itu ketika ada ketika kuasa bukan negara yang menguasai kota. Aparat harusnya bisa menindak tetapi alasannya kurang anggota atau kurang anggaran," lanjutnya.
Yayat mengatakan kalau hal ini terus dibiarkan dapat menimbulkan hilangnya rasa percaya publik terhadap aparat.
"Nah disitu ada persoalan distrust, runtuhnya kepercayaan publik terhadap negara. Ketika negara tidak hadir, trust hancur. Bagaimana premanisme itu bisa hilang itu tergantung trust yang dibangun oleh pemilik kuasa ruang itu misal kepolisian," tuturnya.
Warga Bogor Tengah sendiri sudah mulai kesal dan jengah dengan kehadiran pasar tumpah dan mengancam akan bongkar sendiri jika tidak ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum.
"Kalau polisi dan Satpol PP tidak mau bertindak, kami akan bongkar sendiri!," ujar Dadang Sudrajat saat dihubungi.
Dadang mengatakan beberapa waktu sudah ada rencana untuk pembongkaran. Namun, rencana itu ditunda oleh polisi, dengan alasan itu akan dilakukan seusai pilkada.
"Mereka bilang akan buat situasi tidak kondusif, tetapi nyatanya kalau mau kondusif harusnya ada penangkapan," tutupnya.
Sementara itu, Hasan Warga Ciwaringin menambahkan alasan pilkada hanya dipakai untuk buat masyarakat lupa.
"Ini sengaja diulur-ulur terus, sekarang pakai alasan pilkada setelah itu ada lagi alasannya, ini polisi dan Satpol PP sama saja sedang diinjak-injak oleh kelompok Jupri Cs, karena kalau sampai akhirnya jadi dibongkar preman itu tidak akan ada uang," kata Hasan.
Hasan juga mengatakan kalau bicara kondusif keamanan jelang pilkada, lalu ke mana selama ini polisi dan Satpol PP.
Dia menyebutkan protes ini sudah terjadi dari tahun 2020, bahkan kelompok preman sempat lakukan perlawanan.
"Kalau bicara kondusitifitas pilkada apa kabar spanduk provokasi oleh preman yang beberapa waktu lalu terjadi dan dibantah pedagang itu juga membuat situasi tidak kondusif dan bisa membuat bentrok aparat harus tegas tidak mengulur terus," kata Hasan.
Di sisi lain, Rahmat yang merupakan warga Ciwaringin meminta Kapolri, Jaksa Agung dan Presiden Prabowo untuk turun tangan. Perbuatan Jupri mulai meresahkan warga hingga pedagang.
"Saya minta Pak Prabowo sebagai presiden mendengar apa yang jadi keluh kesah kami sebagai warga. Jangan sampai ada orang seperti Jupri yang menari-nari di atas penderitaan kami," tuturnya.
"Selama ini aparat penegak hukum baik polisi dan satpol pp tidak pernah berani bongkar bangunan di Jalan Merdeka, bangunan itu sudah jelas langgar IMB, karena dibiarkan begitu saja jadi markas preman kelompok Jupri Cs," lanjut Rahmat.
Rahmat juga meminta aparat penegak hukum untuk tegas terhadap Jupri dan kelompoknya.
"Jangan sampai dia bebas lagi, kalau bebas aksi premanisme kembali lagi, karena warga juga resah dia selalu gunakan bangunan yang disegel itu untuk transaksi narkoba. Kemarin dia tertangkap dan dilakukan tes urine ternyata positif narkoba. Dia tidak ada sekarang sudah kondusif. Sebagian pedagang juga mau direlokasi," pungkas Rahmat.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra