jpnn.com - JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Budyatna menilai pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah pertemuan politik yang hanya akan menguntungkan kedua belah pihak saja.
Jokowi butuh SBY untuk memperkuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan SBY butuh Jokowi untuk perlindungan politik dan hukum kepada SBY keluarganya.
BACA JUGA: Vonis Banding untuk Budi Mulya Bukti Pengadilan Makin Peka
“Saya rasa ini demi keuntungan bersama di antara kedua belah pihak. Jokowi butuh SBY dan Partai Demokrat untuk memperkuat KIH, sementara SBY butuh Jokowi untuk mengamankan dia, keluarga dan Partai Demokrat,” kata Budyatna kepada wartawan di Jakarta, Rabu (9/12).
Alasan SBY merapat ke Jokowi dan KIH karena Perppu Pilkada, lanjut Budyatna, itu mengada-ada karena lahirnya UU Pilkada oleh DPRD justru usulan SBY saat berkuasa.
BACA JUGA: Harta Meningkat, M. Nuh Ngaku Punya Utang
“UU Pilkada itu usulan pemerintah. Pemerintah saat itu SBY. Masak sekarang mereka menolak hal itu? Kenapa ketika sidang paripurna DPR - Mendagri saat itu Gamawan Fauzi menerimanya? Selama pembahasan usulan UU dari pemerintah itu, perwakilan pemerintah juga hadir. Jadi aneh kalau SBY sekarang berlagak menolak UU Pemilukada dan mendukung Perppu,” paparnya.
Saat ini menurut Budyatna, Jokowi dan SBY sedang dalam posisi tidak aman, sehingga mereka harus kerja sama. Sebagai presiden, Jokowi sangat terancam dengan KMP dan kalau berhasil menarik PD, maka posisi Jokowi akan lebih aman secara politik.
BACA JUGA: Untuk Perppu, Demokrat Siap Rangkulan dengan KIH
“Demikian juga SBY, posisinya sebagai Ketua Umum PD juga mulai terancam. Terlebih Sekjen PD yang juga putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dalam berbagai kasus korupsi juga selalu disebut namanya. Dia pasti perlu perlindungan. Jadi tidak ada kepentingan rakyat yang dibawa, hanya kepentingan pribadi,” tegasnya.
SBY menurut Budyatna, nampaknya juga khawatir jika bertahan di KMP, PD dan dirinya akan mengalami nasib seperti PPP dan Partai Golkar dan para ketua umumnya yang terpecah.
“Dia kan lihat bagaimana PPP dan Golkar diacak-acak pemerintah dan lawan-lawan politik pemerintah di tubuh kedua partai itu dipersulit dengan munculnya pengurus tandingan. Daripada yang merapat orang lain, maka SBY nampaknya berpikir kenapa bukan saya saja yang merapat sehingga dia berharap dengan dukungan KIH dan Jokowi, posisinya aman,” imbuhnya.
Selain itu, Jokowi dan SBY juga memiliki kesamaan. Mereka bukan pemilik partai seperti Megawati di PDIP dan Prabowo Subianto di Partai Gerindra. Kedua sosok mantan presiden dan presiden itu tegasnya hanyalah anak kos di partainya sehingga posisinya menjadi tidak aman.
“SBY bukan pendiri PD, begitu juga Jokowi di PDIP. Mereka menggunakan partai hanya untuk mencapai tujuan menjadi presiden meski mereka yang membesarkan partai. Yang berdarah-darah dan berjuang untuk partai bukanlah kedua orang itu, tapi kader-kader lainnya. Dengan kesamaan ini maka ada chemistry antara keduanya,” imbuhnya.
Jokowi sendiri nampaknya perlu belajar dari SBY bagaimana mengambil alih partai yang tidak didirikannya dan menguasai PDIP. ”Jadi PDIP dan Megawati juga harus hati-hati, suatu saat Jokowi bisa mengambil alih PDIP seperti SBY mengklaim dirinya yang mendirikan PD. Trah Soekarno bisa diruntuhkan. Kalau Jokowi bisa mengacak-acak Partai Golkar, kenapa PDIP berpikir, dia tidak bisa mengacak-acak PDIP?” tandas Budyatna. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Ogah Lobi KMP
Redaktur : Tim Redaksi