jpnn.com, JAKARTA - Pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI) dan sebelumnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa melalui proses peradilan, dinilai sebagai bentuk kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan.
Dalam jangka panjang hal itu dipandang akan membahayakan demokrasi.
BACA JUGA: Pakar Hukum: Mungkin Korupsi Lebih Dekat dengan Pancasila Ketimbang Syariat Islam
"Jadi kalau pemerintah sekarang membubarkan FPI itu memang sudah ada landasan kuat di Undang-Undang No 16 Tahun 2017, yang mengesahkan Perpu sebelumnya," kata Pakar Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Indra Perwira SH MH, dalam kanal Bravos Radio Indonesia di YouTube.
Kalau dilihat dari segi pembubarannya, menurut Indra, memang cukup beralasan karena aturan juga memungkinkan pemerintah mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan peradilan.
BACA JUGA: Mahasiswa yang Lompat dari Parkiran Mal Sempat Kirim Pesan, Isinya Bikin Pilu Hati
Jadi hukumnya memang dibuat sedemikian rupa supaya pemerintah leluasa untuk bertindak sendiri.
Namun, dalam jangka panjang bisa berbahaya jika pemerintah memutuskan sendirian.
BACA JUGA: Munarman eks FPI: Mereka Menzalimi Organisasi yang Sudah Syahid
"Ini dalam jangka panjang berbahaya kalau pemerintah bertindak sendiri, berarti menafsirkan sendirian," tegasnya.
"Padahal, kami berharap ada lembaga yang merdeka, kekuasaan kehakiman kan kekuasaan yang merdeka dalam konstitusi kita dinyatakan demikian, artinya mereka memutuskan semata-mata demi hukum dan keadilan."
Dia juga mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum dan di dalam konstitusi mengatakan bahwa tugas kekuasaan kehakimanlah menegakkan hukum dan keadilan.
Penegakan hukum tidak boleh menurut apa yang dikehendaki pembentuk hukum, dalam hal ini pemerintah dan DPR.
"Nah kalau pemerintah yang memutuskan, kepentingannya ya bisa jadi macem-macem," cetusnya.
Ketua Pusat Studi Kebijaan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ity pernah menyampaikan hal itu di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika masyarakat melakukan gugatan di lembaga tersebut.
Menurutnya, proses pembubaran ormas tetap harus melalui prosedur due process of law mesti melalui lembaga peradilan.
"Saya juga salah satu ahli yang bicara di Mahkamah Konstitusi waktu itu. Saya bilang, di dalam konsep negara hukum yang kita adopsi, tujuan yang baik semulia apapun itu tidak boleh menghalalkan cara."
"Dalam konteks hukum itu, cara itu sama pentingnya dengan tujuan karena itu harus ada due process of law dalam rangka melindungi hak-hak tersebut," papar Indra.
Ditambahkannya, yang mengawal proses due process of law itu di seluruh dunia adalah lembaga peradilan.
"Saya enggak ada urusan sama ideologi khilafah, saya ini nasionalis. Saya menghormati kesepakatan founding father soal Pancasila, tetapi masalahnya saya tidak suka melihat dalam negara Pancasila ini ada tindakan semena-mena, kan begitu." ujarnya.
Ditekankannya, kalau negara memang terancam di dalam konstitusi sudah ada instrumen yang mengatur.
Tinggal dinyatakan bahwa negara dalam keadaan bahaya oleh presiden.
"Ada tiga level, darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Kalau sudah dinyatakan darurat sipil baru itu boleh tindakan abnormal dilakukan, tapi ini kan bukan begitu." pungkas Indra Perwira. (esy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad