JAKARTA--Komite Perjuangan Guru Honorer (KPGH) menuding pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari honorer tertinggal kategori satu (K1) dan kategori dua (K2) bernuansa KKN.
Mereka menduga perubahan jumlah honorer K1 dari 152 ribu menjadi 72 ribu karena sarat unsur kongkalikongnya.
"Bisa jadi pengurangan dari 152 ribu menjadi 72 ribu karena lainnya tidak bisa membayar uang ke kepala daerah," kata Ketum KPGH Jawa Barat Andi Aziz saat beraudiensi dengan Komisi X DPR RI, di Senayan, Kamis (14/3).
Dugaan adanya permainan, menurut dia, sangat kentara karena terjadinya perubahan data baik dari versi Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP).
Mereka pun tidak percaya dengan hasil rekomendasi BPKP bahwa honorer K1 yang memenuhi kriteria setelah lolos verifikasi validasi (verval) tahap dua, dan quality assurance (QA).
"Mana bisa kita percaya hasilnya, karena metodenya tidak jelas. Kami tidak tahu alasan kenapa bisa lolos dan tidak lolos. Kalau tidak lolos karena sumber gaji, kenapa teman seangkatan kami bisa lolos," sergahnya.
Jefry Kurer, anggota Komisi X dari dapil NTT juga mengakui kelemahan PP Nomor 56 Tahun 2012 yang merupakan payung hukum pengangkatan honorer tertinggal.
Menurut dia PP tersebut ada kelemahanannya karena pejabat daerah bisa meloloskan honorer baru atau yang mau bayar.
"Kada bisa saja memasukkan honorer yang tekah berjasa kepadanya atau yang mau bayar tinggi, kendati masih baru. Karena itu kami akan membahas kembali tentang isi PP ini," tandasnya. (Esy/jpnn)
Mereka menduga perubahan jumlah honorer K1 dari 152 ribu menjadi 72 ribu karena sarat unsur kongkalikongnya.
"Bisa jadi pengurangan dari 152 ribu menjadi 72 ribu karena lainnya tidak bisa membayar uang ke kepala daerah," kata Ketum KPGH Jawa Barat Andi Aziz saat beraudiensi dengan Komisi X DPR RI, di Senayan, Kamis (14/3).
Dugaan adanya permainan, menurut dia, sangat kentara karena terjadinya perubahan data baik dari versi Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP).
Mereka pun tidak percaya dengan hasil rekomendasi BPKP bahwa honorer K1 yang memenuhi kriteria setelah lolos verifikasi validasi (verval) tahap dua, dan quality assurance (QA).
"Mana bisa kita percaya hasilnya, karena metodenya tidak jelas. Kami tidak tahu alasan kenapa bisa lolos dan tidak lolos. Kalau tidak lolos karena sumber gaji, kenapa teman seangkatan kami bisa lolos," sergahnya.
Jefry Kurer, anggota Komisi X dari dapil NTT juga mengakui kelemahan PP Nomor 56 Tahun 2012 yang merupakan payung hukum pengangkatan honorer tertinggal.
Menurut dia PP tersebut ada kelemahanannya karena pejabat daerah bisa meloloskan honorer baru atau yang mau bayar.
"Kada bisa saja memasukkan honorer yang tekah berjasa kepadanya atau yang mau bayar tinggi, kendati masih baru. Karena itu kami akan membahas kembali tentang isi PP ini," tandasnya. (Esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden dan DPR Diminta Dorong Reformasi TNI-Polri
Redaktur : Tim Redaksi