Penganut Ahmadiyah Tak Bisa Bikin e-KTP

Minggu, 04 November 2012 – 07:44 WIB
MATARAM-Sudah tujuh tahun para penganut ajaran Ahmadiyah tinggal di pengungsian, Asrama Transito, Majeluk. Selama tujuh tahun itu, mereka merasa tidak dianggap sebagai warga negara.

“Kita di sini mempertanyakan perhatian pemerintah. Kita juga kan warga negara, setidaknya yang kita butuhkan adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP),” kata Sarim Ahmad, salah seorang pengungsi di Asrama Transito.

Sarim mengatakan, KTP merupakan identitias yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara untuk memilikinya. Karena tak punya KTP, Sarim dan rekan-rekannya yang lain mengaku menjadi terhambat. “Jika kita ingin ke luar kota, kita jadi tidak bisa dan pasti dipulangkan karena tidak memiliki KTP. Terutama untuk keperluan utama seperti mendapatkan surat keringanan rumah sakit, pembuatan SIM. Semua itu kan butuh KTP,” katanya.

Sarim mengaku, ia dan pengungsi lainnya sebenarnya sudah mengajukan untuk pembuatan KTP sejak lima tahun lalu. Namun, ia mengatakan, niatan tersebut tidak mendapat persetujuan dari Kelurahan Pejanggik, lokasi tempat mereka diungsikan.

“Pihak kelurahan di sini bilang, kita masih titipan dari Lombok Barat sehingga tidak bisa dibuatkan KTP. Sementara yang di Lombok Barat bilang, kita sudah diserahkan ke pemerintah. Status kita jadi tidak jelas sebagai warga negara selama tujuh tahun ini,” ujarnya.

Ia menambahkan, warga pengungsian sendiri terpaksa mengeluarkan biaya lebih ketika mengurus sesuatu, karena tidak memiliki KTP. Hal ini berbanding terbalik dengan penghasilan mereka yang pas-pasan. “Warga di sini hanya bekerja sebagai tukang ojek, buruh, dan pedagang. Tanpa KTP misalnya, kan yang jadi tukang ojek jadi sering dapat masalah karena tidak bisa mengurus SIM,” tutur Sarim.

Ketika program e-KTP digulirkan, Sarim dan pengungsi lainnya sempat berharap dapat ikut serta membuat e-KTP. Namun, penolakan yang sama dirasakan kembali. Lagi-lagi dengan alasan status mereka sebagai pengungsi yang belum jelas.

Sarim menyampaikan, hingga saat ini terdapat 30 kepala keluarga di pengungsian tersebut. Jumlah warga pengungsi pun semakin banyak karena selama di pengungsian, sudah ada 17 anak yang lahir. “Mau sampai kapan kita diungsikan seperti ini. Biasanya kan pengungsi itu hanya beberapa bulan saja karena sesudah itu pemerintah bertanggung jawab untuk memulihkan kondisinya,” katanya.

Sarim mengatakan, saat ini harapan tinggal harapan. Ia sendiri tidak tahu sampai kapan dirinya dan rekan-rekan dapat memiliki kesempatan yang sama sebagai warga negara. Setidaknya, ia berharap dapat kembali ke Ketapang, Lingsar, tempat mereka tinggal sebelumnya, untuk melanjutkan hidup. Karena hanya di sanalah aset tanah yang mereka miliki saat ini. Namun, ketakutan akan kembali mendapat perlakuan keras membuat mereka takut. Untuk itu, ia pun hanya bisa berharap suatu saat nanti pemerintah dapat menjamin keamanan mereka di sana. (cr-uki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polair Tangkap 4 Kapal Filipina

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler