jpnn.com, WINA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan, pengawasan adalah salah satu tugas pokok anggota parlemen. Tanpa pengawasan parlemen, kekuasaan pemerintah akan menjadi mutlak, otoriter, yang pada akhirnya membuat rakyat jadi tak berdaya.
Dan jika mengacu kepada “Laporan Parlemen Global IPU 2017”, ruang lingkup pengawasan parlemen meliputi tinjauan, pemantauan dan pengawasan badan-badan pemerintah serta lembaga publik, termasuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, anggaran, serta kebijakan pemerintah.
Demikian dikatakan Fadli saat menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam acara “Forum Anggota Parlemen ke-7” di Markas PBB di Wina, Austria, Kamis (9/11/2017) waktu setempat. Hadir juga dalam forum ini, para anggota parlemen dari sejumlah Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Menurut Fadli, penting sekali bagi anggota parlemen untuk menjaga hak pengawasan tersebut, baik secara individual maupun secara kolektif melalui lembaga parlemen. Sebab, meskipun demokrasi telah membatasi kekuasaan pemerintah, namun pembatasan itu tak akan ada artinya jika anggota parlemen sendiri rendah kemauan politiknya ataupun lembaga parlemennya sengaja dibikin lemah.
Politikus Fraksi Gerindra itu menambahkan, temuan GOPAC menunjukkan bahwa korupsi sebenarnya hanya bisa berkembang jika lembaga pemerintahan lemah, di mana kebijakan serta peraturan yang dibuat bisa diperjual-belikan. Atau karena lembaga pengawas, seperti parlemen, kejaksaan, serta masyarakat sipil, dipinggirkan perannya atau telah menjadi rusak. Pada 2012, Routledge Research menambahi temuan tadi dengan menambahkan bahwa korupsi juga akan berkembang karena kemiskinan.
“Pada tahun 2013, Transparency International menemukan bahwa dua pertiga parlemen gagal menjadi pengawas korupsi sektor pertahanan. Sekitar 85 persen parlemen tidak memiliki pengawasan ketat terhadap kebijakan pertahanan. Biaya global untuk korupsi semacam itu diperkirakan sekitar US$20 miliar per tahun,” imbuh Fadli.
Menurut Fadli, setiap tahun, uang sogokan yang beredar di seluruh dunia diperkirakan sekitar US$1 triliun, dan sekitar US$2,6 triliun, dari uang hasil korupsi yang terkumpul. Jumlah itu setara dengan lebih dari 5 persen PDB global. Hal itu dinilai terjadi karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan parlemen.
“Untuk mengatasi persoalan tersebut, GOPAC percaya bahwa kapasitas anggota parlemen harus segera diperbaiki dan sistem pengawasan parlemen lebih diperkuat. Tentu saja tantangannya tidaklah mudah. Parlemen adalah sebuah lembaga politik di mana anggotanya berasal dari berbagai aliran dan ideologi politik. Itu sebabnya untuk memberantas korupsi kita membutuhkan sebuah jaringan internasional yang non-partisan,” urai Fadli.
Untuk meningkatkan kapasitas anggota parlemen dalam gerakan antikorupsi, GOPAC telah bekerjasama dengan sejumlah lembaga internasional, seperti PBB, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain. Terkait dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), GOPAC berpandangan jika agenda tersebut ingin berhasil, maka kita harus bisa memerangi korupsi. Parlemen dan anggota parlemen harus bisa memastikan bahwa setiap dana publik, berhasil disampaikan kepada mereka yang berhak.
“Pengawasan oleh parlemen sungguh berarti banyak dalam mengurangi atau melemahkan peluang terjadinya korupsi. Saya juga mengajak kepada para anggota parlemen dari negara-negara yang hadir untuk memaksimalkan peran mereka dalam mendukung pemberantasan korupsi,” ajak politikus asal dapil Jawa Barat itu.
Diketahui, Sejak 2006 penyelenggaraan Forum Anggota Parlemen ke-7 selalu bersamaan dengan The Conference of the State Parties to the United Nations Convention Against Corruption", diselenggarakan atas kerja sama antara Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) dengan UN Pacific Regional Anti-Corruption Project (UN-PRAC), UN Office on Drugs and Crime (UNODC), dan UNDP (United Nations Development Programme).(fri/jpnn)
BACA JUGA: TNI Harus Segera Bebaskan Sandera di Papua
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Ingatkan Pemerintah Tak Obral Aset Tanpa Izin DPR
Redaktur : Tim Redaksi