Pengda IFI DKI Jakarta Tolak Aturan Baru BPJS Kesehatan

Senin, 30 Juli 2018 – 17:15 WIB
Ari Sudarsono (kiri) bersama Ali Imron. Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Daerah Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) DKI Jakarta menolak aturan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatann.

Pasalnya, dalam pelayanan harus melewati dokter spesialis rehabilitasi medis sehingga terjadi dua kali pembayaran.

BACA JUGA: Aturan Baru BPJS Kesehatan, Timboel: Mereka gak Jujur

Ketua Pengda IFI DKI Jakarta Ari Sudarsono mengatakan, pihaknya akan mengumpulkan fisioterapis seluruh Jakarta.

“Kami ingin membantu pemerintah supaya mendapat input pelayanan BPJS jika selama ini banyak yang tidak tepat guna dan tidak efektif. Sebab, di peraturan BPJS disebutkan untuk pelayanan rehabilitasi harus dilakukan dokter spesialis rehabilitasi," kata Ari, Minggu (29/7).

BACA JUGA: DJSN Tegas: Cabut Aturan Baru BPJS Kesehatan!

Dia menambahkan, dalam rehabilitasi ada pelayanan psikologi yang seharusnya dilakukan psikolog.

Sementara itu, pelayanan fisioterapi harus dilakukan fisioterapis. Ada pula pelayanan pembuatan alat palsu yang seharusnya dilakukan astetik, bukan dokter rehabilitasi.

BACA JUGA: Menkes Minta Penerapan Aturan Baru BPJS Kesehatan Ditunda

"Peraturan BPJS mengatakan bahwa semua itu dilakukan dokter spesialis rehabilitasi. Akhirnya, yang terjadi di lapangan, dokter yang dapat jasa pelayanan tanpa melaukan apa-apa. Kami juga ingin menyelamatkan uang negara,” tambah Ari.

Dia menilai pelayanan BPJS tidak tepat guna, terutama terkait Permenkes No 28 tahun 2014 dan Peraturan Direktur Jampelkes BPJS No 5 tahun 2018.

Ari menjelaskan, peraturan BPJS Kesehatan yang tidak mengakomodasi fisioterapis membuat para pekerja di bidang itu kesulitan. Sebab, mereka tidak bisa melayani pasien BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Ketua Umum IFI Pusat Ali Imron mengatakan, fisioterapis tetap memberikan pelayanan terbaik sesuai standar profesi.

Saat ini, tambah Imron, jumlah fisioterapis di Indonesia sekitar 12 ribu orang dan yang di luar rumah sakit hanya sekitar sepuluh persen.

Dia mengungkapkan, Peraturan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan yang di dalam lampiran mengatur tindakan fisioterapi tidak sesuai dengan standar pelayanan fisioterapi.

Dengan demikian, hal itu dapat berakibat terhadap tidak adanya perlindungan hukum terhadap fisioterapis yang memberikan pelayanan (UU Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 57 butir a).

Kewajiban untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi diamanatkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 36 Tahun 2014, dan UU Nomor 44 Tahun 2009.

Menurut Imron, fisioterapis tidak memberikan pelayanan fisioterapi bagi pasien dengan jaminan BPJS (dengan atau tanpa dokter SpKFR) sampai batas adanya kejelasan pelayanan fisioterapi dapat diterapkan sesuai standar profesi dan standar pelayanan fisioterapi.

Menurutnya, harapan dari kalangan fisioterapis adalah prosedur diubah, yakni dari dokter spesialis langsung ke fisioterapi tanpa wajib melalui spesialis rehabilitasi medis.

Menurut dia, hal itu diatur dalam aturan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi.

"Ini tanggung jawab morel. Karena itu, kami terus berjuang. Jangan sampai kami dinilai tidak punya hati karena dianggap tidak mau melayani pasien. Selanjutnya kami akan audiensi dengan DPR," ujar Imron. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak Aturan Baru BPJS Kesehatan: 186 RS Setop Fisioterapi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler