Dampak Aturan Baru BPJS Kesehatan: 186 RS Setop Fisioterapi

Sabtu, 28 Juli 2018 – 07:14 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: Idham Ama/Fajar/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dampak aturan baru BPJS Kesehatan sudah mulai dirasakan. Ada 186 rumah sakit yang memiliki layanan fisioterapi untuk pasien BPJS Kesehatan, mulai kemarin pukul 18.00 berhenti melayani.

Sejak Kamis lalu (26/7) ikatan fisioterapi Indonesia (IFI) mengintruksinya anggotanya untuk tidak melakukan pelayanan fisioterapi bagi pasien BPJS Kesehatan. Layanan tersebut berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan.

BACA JUGA: Aturan Baru BPJS Kesehatan: Kasihan Pasien Kelas III

Ketua IFI Pusat M Ali Imron mengatakan bahwa surat yang dia tanda tangani itu untuk memberikan imbauan kepada anggotanya dalam menyikapi Perdiyan (Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan) BPJS Kesehatan no 5/2018. Dia mengatakan bahwa BPJS Kesehatan seolah ingin menghilangkan layanan fisioterapi. ” Di situlah ketersesatan terjadi. Potensi Froud besar,” ungkapnya.

Tidak mencukupinya jumlah dokter rehab medis di tanah air, menurut Imron, membuat kecurangan terjadi. Dia pernah menemui satu dokter rehab medis di Jakarta yang memiliki lima tempat praktek.

BACA JUGA: Layanan RS Sudah Sesuaikan Aturan Baru BPJS Kesehatan

”Datang hanya tanda tangan blanko BPJS,” tuturnya kemarin (27/7) saat dihubungi Jawa Pos. Padahal untuk rumah sakit tipe C, biaya jasa dokter spesialis sekitar Rp 140.000.

Dia mengatakan bahwa menurut peraturan Menteri Kesehatan no 65 tahun 2015, dalam pelayanannya dokter spesialis yang merasa pasiennya membutuhkan layanan fisioterapi akan merujuk langsung. Yang mengerjakan pun para terapi. ”Namun BPJS Kesehatan mengharuskan untuk merujuk ke dokter rehab medis,” ujarnya.

BACA JUGA: Dokter Juga Merasa Dirugikan Aturan Baru BPJS Kesehatan

Dia mencontohkan pasien stroke yang ditangani oleh spesialis saraf. Saat di rumah sakit dan pasien dirasa membutuhkan terapi karena belum bisa bergerak, maka yang akan menangani adalah terapis dari fisioterapi.

Lalu ketika pasien sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan transisi untuk kekehidupan sosialnya, maka di situlah peran dokter rehab medis. ”Misal saat ke kantor tidak bisa karena kantornya menggunakan tangga, itu peran dokter rehab,” ungkapnya.

”Seharusnya kalau BPJS mau melakukan efisiensi, jangan seperti ini,” ungkapnya. Hal itu bertentangan dnegan logika klinis. Peraturan baru BPJS Kesehatan, menurut Imron justru bukan solusi untuk melakukan efisiensi. ”Para medis itu mengobati dengan kondisi apapun. Bukan karena punya atau tidak punya uang,” imbuhnya.

Imron juga mengomentari terkait pembatasan layanan fisioterapi. Dalan Perdiyan no 5/2019, layanan fisioterapi diberikan dua kali seminggu atau maksimal delapan kali dalam satu bulan. Imron mengibaratkan layanan fisioterapi itu seperti pemberian obat. ”Kalau dosis yang diberikan di bawah yang ditentukan, maka sakitnya semakin panjang,” ungkapnya.

BACA JUGA: Aturan Baru BPJS Kesehatan Menuai Kontroversi

Sejak program jaminan kesehatan nasional digulirkan, Imron mengatakan bahwa lembaganya tidak pernah diajak bicara. Termasuk pada saat Perdiyan nomo 5/2018 dikeluarkan. ”Mungkin karena menganggap bahwa fisioterapi itu dibawah dokter spesialis rehab medik,” ungkapnya. (lyn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aturan Baru BPJS Kesehatan Menuai Kontroversi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler