jpnn.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal Maret 2020, mengubah pola hidup masyarakat. Protokol kesehatan (prokes) yang dibuat untuk meminimalisasi penyebaran, menciptakan gaya hidup 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) nyatanya menimbulkan dampak baru dalam lingkungan.
Dampak tersebut di antaranya timbunan sampah medis seperti botol hand sanitizer dan sabun cuci tangan, masker, sarung tangan dan Alat Pelindung Diri (APD).
BACA JUGA: Biaya Swab Test Rp900 Ribu, Ada Komponen Pengelolaan Limbah
Direktur Bank Sampah Nusantara (BSN) Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdatul Ulama (LPBINU) Fitri Aryani mengatakan, sejak masa pandemi, penggunaan masker, sarung tangan dan APD meningkat cukup drastis.
Tidak hanya berasal dari rumah sakit saja, tetapi juga limbah medis seperti masker, sarung tangan dan APD yang berasal dari rumah tangga. Bahkan gaya hidup baru seperti belanja online, menambah daftar permasalahan dalam penanganan sampah plastik yang sampai hari ini belum tuntas.
BACA JUGA: Bertemu Menteri Siti, Perwakilan UNDP Puji Pengelolaan Lingkungan di Indonesia
Menurutnya, ketika area publik di masa PSBB mengalami penurunan jumlah sampah, rumah sakit, hotel/wisma karantina/isolasi dan rumah tangga justru mengalami kenaikan jumlah timbunan sampah yang sangat tinggi, terutama sampah/limbah medis.
“Banyak masyarakat yang memakai masker medis atau masker sekali pakai dari rumah sendiri, tanpa mengetahui bagaimana cara menanganinya,” kata Fitri Aryani dalam Webinar bertajuk Penanganan dan Pengolahan Sampah/Limbah Medis di Masa Pandemi Covid-19 yang digelar BSN LPBINU bekerja sama dengan Radesa Institute dan WFD The Conservatives, Jumat malam (22/1/2020), dengan moderator Billy Ariez dari Radesa Institute.
BACA JUGA: Perusahaan Besar Ini Vaksinasi COVID-19 secara Mandiri, Pesan 60 Ribu Dosis Sinovac
Menurut Fitri Aryani, persoalan sampah bukan hanya terkait dengan dampak kesehatan lingkungan atau udara, namun dapat juga berdampak menjadi faktor penyebab bencana dan dampak perubahan iklim.
Persoalan mendasar pengelolaan sampah yaitu rendahnya kapasitas pemerintah daerah, rendahnya kepedulian publik, tren komposisi sampah naik, penegakan hukum, serta peran dan tanggung jawab produsen.
“Kurangnya pengetahuan dan kesadaran menyebabkan rendahnya kepedulian publik terkait sampah, pemilahan dan pengelolaannya,” katanya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas LHK Provinsi DKI Jakarta Syaripudin mengatakan, sumber limbah medis berasal dari limbah RS dan rumah tangga.
Dia menjelaskan pengelolaan limbah infeksius dari fasilitas pelayanan kesehatan Covid-19. Pertama, sampah dari RS dikelola melalui proses insenerasi, kemudian dikelola pihak ketiga. Kedua, dari RS kemudian diangkut dan dibawa ke pengolah.
Sementara untuk pengolalaan limbah medis Covid-19 dari rumah tangga seperti masker bekas, sarung tangan, hazmat diangkut ke Dipo Kecamatan oleh petugas kebersihan menuju Dipo LB3 Kota. Sampah medis selanjutnya diangkut secara berkala menuju tempat pengolahan limbah B3 yang dikelola pihak ketiga.
Dia menyebutkan sejumlah tantangan pengelolaan limbah B3 medis selama pandemi. Untuk sumber dari pelayanan kesehatan (yankes), ada penambahan timbunan limbah medis, perlakuan khusus terhadap limbah medis, jumlah pihak ketiga selaku transporter dan pengelola limbah B3 yang terbatas, serta ketidaktaatan dalam pengelolaan limbah B3 sesuai ketentuan.
“Sementara dari sumber rumah tangga, perlu edukasi kepada masyarakat untuk dapat memilah limbah medis, penyediaan sarana dan prasarana di dipo atau TPS untuk pengelolaan limbah medis, dan perlindungan kesehatan bagi petugas pengawas kesehatan," katanya.
Berdasarkan data Pengawas Limbah B3 Fasilitas Pelayanan Ksehatan/RS Periode 28 Desember 2020-3 Januari 2021, limbah medis Covid-19 paling banyak berasal dari RS rujukan Covid-19 sebanyak 73 RS yang menghasilkan 203.607.56 kg/miggu atau setara 83% dari total limbah B3 di Jakarta. Kemudian dari RS yang tidak melayani pasien Covid-19 sebanyak 109 RS, menghasilkan 40.263.17 kg/minggu atau setara 17%.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung mengatakan, ada sejumlah tantangan dalam pengelolaan APD sekali pakai.
Pertama, perlu treatment khusus untuk kategori LB3, sosialisasi masif ke masyarakat, anggaran pengelolaan yang lebih besar dibandingkan sampah umum, dan 61% wilayah Indonesia belum terlayani angkutan sampah.
Di sisi lain, juga ada peluang mendaur ulang APD masker sekali pakai. "Keuntungannya, mengurangi pembakaran sampah, menggerakkan kewirausahaan sampah, menyerap lapangan kerja baru," katanya.
Saut mengatakan, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah masker sekali pakai. Pertama, melibatkan tanggungjawab semua pemangku kepentingan, termasuk produsen pembuat APD. Kedua, memberikan insentif bagi perusahaan yang berupaya mendaur ulang APD.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich