Pengembang PLTP Berharap Kesetaraan dengan Pembangkit Fosil

Minggu, 30 Agustus 2020 – 20:47 WIB
Para narasumber webinar SAFE Forum 2020. Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia berada di peringkat teratas dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) untuk kawasan Asia.

Namun, pengembang PLTP di dalam negeri merasa iklim investasi belum kondusif, terutama soal level playing-field dengan pembangkit listrik tenaga fosil.

BACA JUGA: Proyek Pembangkit Listrik 35 Ribu MW Baru Rampung 23,9 Persen

Chief Strategy Officer Star Energy Geothermal Agus Sandy Widyanto mengatakan, terdapat tiga poin utama yang diharapkan pelaku usaha di sektor panas bumi.

Ketiganya ialah soal perizinan, harga, dan perpajakan. Investor menginginkan adanya kesetaraan dengan pembangkit fosil.

BACA JUGA: Top! Kejaksaan Agung Berhasil Tangkap Koruptor Proyek Pembangkit Listrik Raja Ampat

“Tantangannya, bagaimana agar panas bumi bisa lebih efisien lagi. Harapan kami sebagai pengembang PLTP, bagaimana agar panas bumi bisa kompetitif dengan energi fosil,” tuturnya kepada Katadata dalam webinar SAFE Forum 2020, Jumat (28/8).

Kapasitas terpasang PLTP di Indonesia saat ini sebesar 2,1 GW. Hal ini memosisikan Indonesia sebagai peringkat wahid di Asia dan kedua di dunia.

Di regional ASEAN sendiri Indonesia sekarang nyaris disusul Filipina dengan kapasitas 1,9 GW.

Namun, pengembangan PLTP di tanah air belum optimal. Pasalnya, harga setrum dari pembangkit listrik energi terbarukan, seperti panas bumi, relatif lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit konvensional (batu bara).

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan harga listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) lebih mahal.

Misalnya, keterbatasan infrastruktur dan koneksi, serta risiko eksplorasi yang tinggi.

Soal infrastruktur jalan dan jembatan, sebagian besar kini belum tersedia.

Eksplorasi energi primer untuk pembangkit EBT juga berisiko. Belum lagi, koneksi ke jaringan yang lebih kecil terbatas.

“Potensi solusi untuk panas bumi dari sejumlah tantangan yang ada, misalnya dengan mengadakan penggantian biaya infrastruktur terutama yang bersifat sosial. Selain itu, risiko eksplorasi juga sebaiknya ditanggung bersama pemerintah dan badan usaha,” ujar Agus.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa salah satu tantangan pengembangan EBT panas bumi memang competitiveness harga dibandingkan dengan energi fosil.

Hal ini memengaruhi sisi kelayakan pengembangan suatu proyek panas bumi.

“Karena tantangan-tantangan itu, sekarang pemerintah sedang menyusun regulasi untuk untuk membuat tarif listrik pembangkit EBT lebih kompetitif. Sekarang sedang proses harmonisasi perpresnya oleh Kemenkumham. Di dalamnya akan diatur insentif,” ucap Direktur Panas Bumi ESDM Ida Nuryatin.

Regulasi tersebut salah satunya akan memuat skema insentif guna mendorong investasi di sektor panas bumi.

Salah satunya adalah kompensasi biaya eksplorasi yang akan dikerjakan pengembang. Hal ini bertujuan agar harga jual listrik dan PLTP lebih ekonomis. (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler