Pengesahan RUU PKS Ditunda, LPSK Buka Angka Korban Kekerasan Seksual

Sabtu, 04 Juli 2020 – 17:36 WIB
LPSK. Foto: dok jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020 disesalkan oleh pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pasalnya, LPSK sendiri merupakan pihak yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU tersebut.

BACA JUGA: Sahroni: RUU PKS Ditunggu Korban Kekerasan Seksual, Sahkan Tahun ini!

Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menjelaskan, lembaganya mendukung pembahasan RUU PKS karena sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke lembaga itu.

Tahun 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, naik menjadi 111 permohonan pada 2017 dan melonjak ke angka 284 pada tahun 2018. Kemudian di tahun 2019, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual naik lagi ke angka 373.

BACA JUGA: Mas Taufik Basari Tegaskan Ikhtiar NasDem agar RUU PKS Beres

Sedangkan jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual, per 15 Juni 2020, mencapai 501 korban. Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Diyakini angka riilnya bisa lebih besar. Itu disebabkan tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.

“Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia, Jumat (3/7).

BACA JUGA: Ela Nuryamah Akan Dorong RUU PKS Segera Disahkan

Dia menyebutkan ada beberapa faktor yang membuat RUU PKS penting untuk segera dibahas. Salah satunya kehadiran RUU ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual.

“Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam,” ujar Livia.

Pada kasus kekerasan seksual banyak perkara yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal, khususnya yang ada di KUHP tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini.

Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum. Misalnya pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan.

"Padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya” tandas Livia. (fat/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler