Pengungsi Gunung Agung Seberangi Selat Lombok Gunakan Perahu

Rabu, 04 Oktober 2017 – 00:38 WIB
Lalu Muhidin bersama istrinya dan anaknya yang sedang tertidur pulas di berugak keluarganya yang ada di Dusun Pelampat Desa Meninting Kecamatan Batulayar, Minggu lalu (1/10). Foto: ZULKIFLI/RADAR LOMBOK/JPNN.com

jpnn.com - Puluhan warga Karang Asem, Bali, ada yang mengungsi ke Pulau Lombok untuk menghindari erupsi Gunung Agung. Mereka menyeberangi Selat Lombok menggunakan perahu.

Zulkifli-Lombok Barat

BACA JUGA: RSAL Kirim 2 Batalion Tim Medis ke Karangasem

Perempuan berjilbab ini duduk di berugaq di rumah keluarganya di Dusun Pelampat Desa Meninting Kecamatan Batulayar Lombok Barat, Minggu lalu (1/10). Raut lelah masih terpancar di wajahnya.

Dialah Sawinah, salah seorang pengungsi asal Bali yang nekat menyeberangi Selat Lombok menggunakan perahu kecil.

BACA JUGA: Desa di Zona Bahaya Gunung Agung Bertambah

Sawinah bersama puluhan warga asal Desa Ujung Desa Islam Kecamatan Karang Asem Kabupaten Karang Asem Provinsi Bali mengungsi ke Lombok untuk menghindari eruspi Gunung Agung.

Sawanah bersama tiga orang anaknya, adik ipar dan keponakan serta tetangganya yang lain mengungsi ke Lombok bukan dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Ferry, melainkan perahu kayu yang di dalamnya muat 20 orang.

BACA JUGA: Terketuk Derita Pengungsi, IIPG Gelar Baksos di 3 Lokasi

Diceritakan Sawinah kepada Radar Lombok (Jawa Pos Group), ia menggunakan perahu kayu untuk menyeberang adalah kali pertamanya, kendatipun suaminya merupakan nelayan.

Menggunakan perahu kayu terpaksa dilakukan karena kondisi ekonomi tidak memungkinkan menggunakan Ferry.Barang-barang yang dibawa hanyalah pakaian dan barang berharga seadanya.

Desanya sendiri berada pada jarak 10 Km, masuk dalam radius merah erupsi Gunung Agung. Di dekat rumah waktu itu ada pengungsian. Berada di pengungsian saat malam dan kembali saat pagi.

Namun ketika pemerintah menetapkan radius berbahaya mencapai 12 Km, keluarganya pun panik.

Saudara suami yang menikah ke Desa Meninting, Lombok Barat pun menghubungi suaminya agar mengungsi di Dusun Pelempat Desa Meninting sementara waktu. Akhirnya dia berangkat.

“Ombaknya besar, anak-anak banyak yang muntah. Pakaian basah semua sama air laut,” ujarnya menceritakan pengalamannya menyeberangi Selat Lombok.

Selat Lombok dikenal dalam dan ombaknya yang besar. Untuk bisa sampai ke Lombok, butuh waktu 4 jam menyeberangi Selat Lombok.

Meski ketakutan melanda, para pengungsi ini saling menguatkan. Mereka terus berdoa agar bisa selamat sampai ke Lombok. ”Kita waktu itu sangat takut,'' tuturnya.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama, akhirnya perahu pengungsi ini tiba di Pantai Meninting dengan selamat. Kedatangan pengungsi ini langsung disambut hangat warga setempat.

Lalu Muhidin suami Sawinah mengungkapkan, dia memberangkatkan istri, tiga anak, satu keponakan dan satu saudaranya menggunakan perahu, karena memang kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan menggunakan Ferry, apalagi pesawat terbang. Jadi terpaksa menggunakan perahu.

Muhidin sendiri menggunakan Ferry dua hari setelahnya, karena membawa barang berharga satu-satunya yakni sepeda motor Yamaha Jupiter. Karena tidak mungkin dibawa menggunakan perahu.

Ongkos Ferry sekitar Rp 129 ribu. Sementara untuk perahu yang ditumpangi keluarganya itu hanya sekadar urunan dengan tetangga yang lain untuk membeli bahan bakar saja.

“Ya hanya ini yang bisa saya selamatkan, rumah di sana tidak ada yang jaga, karena di sana juga lumpuh, masyarakat takut dengan berita-berita Gunung Agung yang akan meletus,” bebernya.

Tetangga yang ikut menggunakan perahu kayu atau Ferry, rata-rata memiliki keluarga di Lombok, dan mereka juga tinggal di rumah keluarga yang ada di Lombok.

Pria yang lahir dan tumbuh besar di Bali ini senang karena sambutan masyarakat Meninting sangat baik. Sejak pertama di Meninting, dirinya langsung melaporkan diri ke aparat desa terkait.

Beberapa hari kemudian langsung datang bantuan dari Dinas Sosial Lombok Barat.

“Ada kemarin dikasih sembako, tikar. Alhamdulillah saat ini masih,” ucapnya.

Muhidin sendiri berharap kondisi Gunung Agung segera normal agar bisa kembali ke kampung halaman, karena anak-anaknya sendiri sudah lama tidak bersekolah.

“Kasihan anak-anak ini tidak sekolah. Itu yang membuat saya kepikiran,” jelasnya.

Dikatakan, warga di desa yang dia tempati memang banyak yang keturunan Sasak Lombok.

Cerita dari leluhur, saat Kerajaan Karang Asem dahulu ke Lombok, cukup banyak warga Sasak yang diajak ke Bali.

“Jadi banyak di desa saya yang namanya Lalu. Saya lahir dan besar di sana,” jelasnya.

Kepala Desa Meninting H Iskandar Zulkarnain sendiri mengaku sudah mengetahui ada sejumlah pengungsi asal Bali yang masuk ke desanya, tetapi untuk totalnya belum diketahui pasti.

“InsyaAllah nanti sore akan saya perjelas,” terangnya.

Kepala BPBD NTB H. M. Rum mengatakan, pengungsi yang ada atas nama Lalu Muhidin dan keluarganya itu sudah masuk pada data BPBD NTB, melalui informasi yang dilaporkan BPBD Lobar.

“Update data pengungsi 97 KK dan 315 jiwa. Sudah masuk (Keluarga Lalu Muhidin) dalam data ini”. (*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengungsi Gunung Agung yang Kaya Silakan Sewa Hotel


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler