Pengungsi Masih di Tenda Hingga 2 Bulan ke Depan, Sabar ya

Minggu, 14 Oktober 2018 – 00:45 WIB
Prajurit TNI membangun tenda untuk merelokasi pengungsi warga korban bencana gempa dan tsunami ke Palu Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat (12/10). Foto: Puspen TNI

jpnn.com, JAKARTA - Para pengungsi korban gempa dan tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) masih hidup di tenda-tenda pengungsian selama dua hingga tiga bulan ke depan.

Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga mengungkapkan bahwa setidaknya butuh maksimal 2 bulan untuk membangun hunian sementara (huntara) bagi warga yang rumahnya sudah hancur maupun rusak berat. Pembangunan akan dimulai segera setelah masa tanggap darurat selesai.

BACA JUGA: Pasokan Energi Penting untuk Gerakkan Ekonomi Daerah Bencana

“Membangunnya paralel. Sambil kami cari lokasi yang bagus untuk hunian tetapnya,” kata Danis seperti diberitakan Jawa Pos.

Danis mengatakan bahwa pemerintah saat ini tengah menggodok mekanisme dan model bangunan huntara. Tapi setidaknya Huntara akan berbentuk kompleks rumah besar dengan banyak kamar di dalamnya. ”Kira-kira mirip barak prajurit. Satu kompleks bisa 6 sampai 10 keluarga,” kata Danis.

BACA JUGA: PM Lee Yakin Jokowi Bisa Cepat Pulihkan Sulteng

Meski demikian, kualitas tetap akan diutamakan. Kerangka rumah akan dibangun dari baja ringan dengan dinding panel kayu atau papan fiber semen (GRC). Atap dan kuda-kuda juga dibangun dengan baja ringan. “Ada fasilitas kamar tidur dan sanitasinya,” jelasnya.

Danis mengatakan, rehabilitasi dan rekonstruksi (Rehab Rekon) di Sulteng harus dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau Lombok dan Sumbawa, hanya bangunan milik warga yang rusak atau roboh. Sementara di Sulteng, bangunan rumah milik warga terseret, pindah lokasi, atau ambles sama sekali.

BACA JUGA: Korindo Sumbang Rp 7 Miliar untuk Korban Gempa Sulteng

Danis menambahkan, setidaknya butuh 2 hingga 3 tahun untuk membangun 4 kabupaten terdampak. Selain itu, ribuan warga perumahan Balaroa, Petobo, dan Jono Oge yang ditelan likuefaksi jugar harus dicarikan lokasi baru dan dibangunkan rumah baru.

Sementara itu, walaupun dalam kondisi bencana, kegiatan belajar mengajar (KBM) tetap berjalan. Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Ditjen Dikdasmen Kementerian Pendidian dan Kebudayaan Poppy Dewi Puspitawati menuturkan bahwa satgas Kemendikbud dipusatkan di LPMP Sulawesi Tengah.

Satgas ini yang akan melakukan pemantauan mengenai jumlah sarana prasarana pendidikan yang rusak, jumlah siswa dan guru yang terdampak, serta memastikan kegiatan proses belajar mengajar

”Proses pendidikan harus dilakukan. Sehingga ada sekolah darurat,” ucapnya. Kemendikbud akan membagi dua model sekolah darurat. Pertama dengan tenda darurat yang sesuai kriteria UNICEF. Kedua dengan memanfaatkan skema satu gedung terdiri dari enam ruang kelas dan satu ruang administratif.

Memang pada masa tanggap bencana ini, proses kegiatan belajar masih penuh penyesuaian. Untuk langkah awal, pendidikan digunakan sebagai layanan psikososial. Tidak hanya siswa yang mendapatkan layanan tersebut, guru dan tenaga pendidikan lainnya pun mendapatkan pelayanan serupa.

Poppy menambahkan bahwa kementeriannya tengah menggodok peraturan menteri terkait pendidikan kebencanaan. Kemendikbud berencana untuk memberikan pemahaman kebencanaan. Rencananya, untuk memberikan edukasi tersebut akan melibatkan BNPB dan lembaga terkait. ”Akan belajar pra, saat, dan pasca bencana,” ucapnya. (tau/lyn/jun)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Kirim Tukang Pijat untuk Korban Gempa Sulteng


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler