jpnn.com, JAKARTA - Pengurus dana pensiun (dapen) harus lebih ekstra hati-hati dalam mengelola investasi di tengah pandemi Covid-19. Jika tidak, penurunan nilai aset investasi pada gilirannya akan berdampak terhadap kecukupan pendanaan dapen.
Pasalnya, gejolak di pasar saham dan obligasi akibat dampak pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penurunan nilai aset investasi.
BACA JUGA: 4 Hal ini Perlu Dipersiapkan Dalam Mengatur Dana Pensiun di Kala Pandemi
Memang, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai aset investasi dapen per Agustus sudah kembali meningkat menjadi Rp286,9 triliun.
Tanpa kehati-hatian dalam mengelola investasi di situasi yang serba tidak pasti ini, aset investasi dapen berisiko kembali menurun sehingga berdampak terhadap tingkat kesehatan dapen. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi.
BACA JUGA: Update Harga Logam Mulia Antam di Pegadaian Hari Ini, Rabu 7 Oktober 2020
Bambang mengatakan, gejolak di bursa saham telah menggerus nilai aset investasi saham dapen.
Biasanya, porsi aset saham terhadap total investasi dana pensiun mencapai sekitar 12%. Saat ini, porsi aset saham turun menjadi sekitar 8% dari total investasi dapen. Artinya, ada penurunan nilai investasi sekitar 4%.
BACA JUGA: Cegah Penularan Covid-19, Aice Group Distribusikan Jutaan Masker Medis Shield
Itu sebabnya, Bambang memperkirakan, ada beberapa dapen yang mengalami penurunan RKD. Begitu pula, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100% diperkirakan berkurang.
Memang, tidak semua dapen akan mengalami penurunan RKD. Sebab, ada dapen yang mengantisipasi penurunan nilai aset dengan memegang surat berharga hingga jatuh tempo sehingga tidak terjadi selisih investasi yang akan mempengaruhi RKD.
Menurut Bambang, ada beberapa faktor yang menyebabkan dapen memiliki RKD di bawah 100%. Pertama, kenaikan gaji karyawan yang tidak diikuti dengan kenaikan iuran dari pemberi kerja.
Bambang mengatakan, kenaikan gaji karyawan akan mempengaruhi penghasilan dasar pensiun (PhDP). Saat PhDP naik, pemberi kerja semestinya juga menaikkan iuran.
"Jika tidak dilakukan akan menggerus RKD karena rasio kebutuhan likuiditas berdasarkan aktuarial naik tapi iuran dari pemberi kerja tidak bertambah," kata Bambang.
Kedua, iuran yang masuk ke dapen dari pemberi kerja kurang tepat. Jika iuran tidak tepat, pengurus dapen tidak bisa segera menginvestasikan iuran tersebut.
Ketiga, penggunaan asumsi bunga teknis atau bunga aktuaria yang tinggi. Menurut Bambang, ada pendiri dapen yang memang mematok tingkat bunga teknis yang tinggi. Tujuannya, untuk memperkecil kontribusi yang harus disisihkan oleh pendiri.
Karena asumsi tingkat bunga aktuaria yang digunakan tinggi, pengurus dapen harus lebih agresif dengan menempatkan investasi pada instrumen berisiko tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kewajiban atas pemenuhan manfaat peserta.
Masalah muncul jika pencapaian hasil usaha berada di bawah bunga teknis. Jika pengurus dapen tidak bisa mendapatkan tingkat hasil investasi sesuai dengan tingkat bunga teknis, maka rasio kecukupan dana akan tergerus.
Lalu, apa dampaknya jika RKD kurang dari 100%?
Jika RKD di bawah 100%, pendiri dapen wajib melakukan pembayaran sejumlah dana tambahan guna mencapai keadaan dana terpenuhi.
Sepanjang pendiri dapen berkomitmen dan sanggup untuk memenuhi rasio kecukupan dana, sebetulnya tidak ada persoalan.
Namun, dalam jangka panjang, rasio kecukupan dana yang kurang dari 100% juga akan berakibat buruk terhadap para penerima manfaat pensiun. Ini terjadi jika pendiri dapen sudah tidak sanggup lagi untuk menambah dana alias top up.
"Intinya, pendiri harus melakukan top up dana ke dapen jika RKD kurang dari 100%. Makanya, jika pendiri sudah tidak ada, dapen harus segera dibubarkan sehingga seluruh dana yang masih tersisa dibagikan ke peserta," tandas Bambang.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy