Penjelasan Mendikbud Nadiem Makarim tentang Akreditasi Perguruan Tinggi

Senin, 27 Januari 2020 – 15:04 WIB
Mendikbud Nadiem Makarim (kanan) di acara pencanangan Program Kampus Merdeka, Jumat (24/1). Foto: Humas Kemendikbud

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar bagi pendidikan tinggi yang bertajuk Kampus Merdeka.

Salah satu kebijakan yang diatur adalah mengenai akreditasi perguruan tinggi (PT).

BACA JUGA: Nadiem Makarim Pastikan Pemerintah Tetap Awasi Mutu Perguruan Tinggi

Akreditasi PT yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) akan diperbaharui secara otomatis setiap lima tahun.

Selain itu, perguruan tinggi yang terakreditasi B atau C dapat mengajukan kenaikan akreditasi kapanpun secara sukarela.

BACA JUGA: Mas Nadiem Minta Perguruan Tinggi Lincah Menyesuaikan Kebutuhan Dunia Kerja

“Sekarang re-akreditasi sifatnya sukarela, artinya bagi yang siap naik akreditasi. Misalnya dari akreditasi B ke A maka dia yang akan diprioritaskan, jadi sifatnya adalah sukarela," kata Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam rapat koordinasi kebijakan pendidikan tinggi (Dikti) di Jakarta, Jumat (24/1).

Perubahan kebijakan lainnya dalam akreditasi adalah adalah pemberian akreditasi A bagi prodi yang mendapatkan akreditasi internasional yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen).

BACA JUGA: Nadiem Makarim: Dari Semua Kebijakan, Ini Adalah yang Paling Penting

Menurut Nadiem, bagi prodi-prodi yang mendapatkan akreditasi internasional akan secara otomatis mendapatkan akreditasi A dari pemerintah dan tidak harus mengikuti proses lagi di tingkat nasional.

Perubahan kebijakan akreditasi ini mendapatkan perhatian dari para pelaku pendidikan tinggi.

Agustinus Prasetyantoko, Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta, sangat mendukung kebijakan re-akreditasi ini.

"Bagi saya, soal akreditasi ini menjadi sangat penting karena beban administrasi menjadi berkurang signifikan, sehingga kesempatan energi dan waktu lebih banyak meningkatkan mutu yang berimbas pada mahasiswa," ujar pria berkacamata ini kepada Mendikbud.

Senada dengan itu, Suriel S. Mofu, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti) Wilayah XIV Papua dan Papua Barat, mengapresiasi kebijakan yang dinilainya luar biasa ini.

Menurutnya, kebijakan re-akreditasi ini menjadi satu langkah maju yang akan membuat perubahan besar dalam pendidikan tinggi di Indonesia.

"Perguruan tinggi tidak akan bergantung pada pemerintah, artinya kualitas saya bukan ditentukan pemerintah karena akreditasinya, tetapi kualitas saya karena memang _you can trust the practice of our quality, quality is our identity," kata Suriel dengan penuh optimistis.

Sebelumnya, Mendikbud menjelaskan latar belakang penyesuaian kebijakan akreditasi perguruan tinggi ini dijalankan.

“Saat ini saya rasa para dosen dan rektor di sini mengetahui bahwa proses dan persyaratan akreditasi itu suatu beban yang cukup besar, karena semua dilakukan manual," ungkapnya.

Setidaknya terdapat tiga isu dalam sistem akreditasi perguruan tinggi, salah satunya adalah bersifat manual. Hal itu menjadikan beban administrasi bagi dosen dan rektor, sehingga keluar dari fokus utamanya yaitu meningkatkan kualitas pembelajaran di dalam universitasnya.

Kedua, akreditasi bersifat cukup diskriminatif karena banyak sekali yang benar-benar membutuhkan akreditasi tetapi tidak mendapatkannya. Sedangkan yang tidak mau diakreditasi atau tidak merasa perlu tapi dipaksakan untuk re-akreditasi.

Ketiga, bagi yang sudah mengejar target yang lebih tinggi (internasional) harus mengulangi prosesnya di tingkat nasional karena belum cukup diakui.

Beberapa permasalahan terkait akreditasi perguruan tinggi tersebut mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggulirkan perubahan kebijakan dalam akreditasi prodi dan perguruan tinggi. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler