Penjualan Rumah Tumbuh 25 Persen

Kamis, 16 Mei 2013 – 04:17 WIB
JAKARTA - Booming sektor properti masih terus berlanjut tahun ini. Selain lonjakan pertumbuhan angka penjualan rumah, booming ini juga ditandai dengan melesatnya harga properti di berbagai kota.
 
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Difi Johansyah mengatakan, pesatnya pertumbuhan sektor properti tersebut tecermin dari hasil survei properti residensial periode triwulan I 2013.

"Untuk semua tipe rumah, penjualan naik 25,63 persen secara q to q (quarter to quarter atau dibanding triwulan sebelumnya, Red)," ujarnya kemarin (15/5).

Dalam survei ini, BI memetakan geliat sektor properti di 14 wilayah, yakni Medan, Palembang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Manado, Makassar, Pontianak, serta Banten dan  Jabodetabek. Total responden yang disurvei mencakup 45 pengembang utama di Jabodetabek dan Banten, serta sekitar 215 pengembang di berbagai wilayah lainnya.

Untuk klasifikasi, BI membagi tipe rumah dalam tiga kelompok, yakni  rumah kecil untuk rumah dengan luas di bawah 36 meter persegi (m2), sedangkan rumah tipe menengah dengan luas 36-70 m2, dan rumah tipe besar dengan ukuran di atas 70 m2.

Lantas, rumah tipe mana yang sekarang paling laris? Difi menyebut, berdasar data survei, rumah dengan pertumbuhan penjualan tertinggi terjadi pada rumah tipe menengah yang mencapai 33,6 persen. "Ini sejalan dengan pertumbuhan masyarakat kelas menengah, terutama di wilayah Jabodetabek," katanya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Properti dan Kawasan Industri Teguh Satria menambahkan, kebutuhan rumah di Indonesia memang masih sangat tinggi. "Selain karena tumbuhnya populasi, juga karena backlog yang sangat besar," ujarnya.

Backlog adalah kekurangan rumah yang sudah terjadi saat ini. Data Kadin menunjukkan, backlog perumahan di Indonesia mencapai 15 juta unit. Artinya, saat ini ada 15 juta keluarga di Indonesia yang belum memiliki rumah layak tinggal.

"Dengan asumsi backlog diselesaikan dalam 20 tahun, maka kebutuhan pembangunan rumah baru, mencapai 750 ribu unit per tahun," jelasnya.

Sementara itu, jumlah penduduk yang terus tumbuh juga berimplikasi pada naiknya kebutuhan rumah. Dengan jumlah populasi 241 juta jiwa dan angka pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun, maka kebutuhan rumah baru mencapai 729 ribu unit per tahun. "Di luar itu, masih ada kebutuhan untuk renovasi atau upgrading (memperbesar) rumah," katanya.

Lantas, berapa kemampuan pasokan rumah baru oleh pengembang atau developer? Rupanya tidak banyak, hanya sekitar 400 ribu unit per tahun. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan rumah baru bagi keluarga yang baru berumah tangga pun, masih belum cukup.

"Untungnya, masih ada masyarakat di desa-desa yang membangun rumah swadaya. Tapi, kekurangan pasokan masih tetap tinggi," ucapnya.

Harga di Surabaya Naik Tertinggi

Pesatnya pertumbuhan penjualan juga diikuti dengan harga yang merangkak naik. Data BI menunjukkan, rata-rata kenaikan harga sepanjang triwulan I 2013 lalu sebesar 4,78 persen (q to q), lebih tinggi dibanding kenaikan periode triwulan IV 2012 yang hanya sebesar 3,81 persen.

Menurut Difi, kenaikan harga properti tersebut dipicu oleh tiga faktor utama, yakni kenaikan harga bahan bangunan dan kenaikan upah pekerja atau tukang/buruh bangunan. "Satu lagi yang cukup berperan adalah masih mahalnya biaya perizinan pembangunan perumahan," sebutnya.

Lalu, kota manakah yang harga propertinya naik paling tinggi? Rupanya bukan Jabodetabek yang merupakan pusat pertumbuhan properti, melainkan Surabaya. Difi mengatakan, kenaikan properti di Ibukota Provinsi Jawa Timur ini mencapai 8,02 persen.

"Bahkan, untuk rumah tipe kecil, kenaikan harga di Surabaya mencapai 11,43 persen," ujarnya. 

Jika dibandingkan dengan triwulan I 2012 atau year on year (yoy), kenaikan harga properti menjadi lebih tinggi, yakni rata-rata mencapai 11,19 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga pada periode triwulan I 2012 (yoy) yang sebesar 6,98 persen.
 
Tingginya kenaikan harga properti di Indonesia ini pun memicu alarm terkait potensi terjadinya bubble atau gelembung properti di Indonesia. Tak kurang dari Bank Dunia, dalam kajiannya Maret 2013 lalu sudah memperingatkan Indonesia terkait potensi bubble properti.

BI sebenarnya juga sudah mencium gelagat ini. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, selain karena tingginya kebutuhan, kenaikan harga properti juga dipicu pesatnya pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) oleh perbankan di Indonesia.

"Itulah salah satu alasan BI merilis aturan LTV (loan to value) pada pertengahan tahun lalu," katanya.

LTV merupakan instrumen yang membatasi jumlah maksimal kredit yang boleh diberikan bank kepada debitor. Juni 2012 lalu, aturan LTV 70 persen mulai berlaku untuk kredit rumah tipe di atas 70 m2. Artinya, untuk pembelian rumah tersebut, maka debitor harus membayar uang muka atau down payment minimal 30 persen.

Namun, Perry mengakui, kebijakan LTV tersebut hanya bisa mengerem laju pertumbuhan kredit dalam beberapa bulan saja. Saat ini, lanjut dia, pertumbuhan kredit properti kembali naik tinggi, bahkan di beberapa wilayah ada yang sampai 70 persen.

"Karena itu, BI akan menyiapkan kebijakan lanjutan dari LTV. Tapi, kami menunggu keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi, sebab dampaknya akan cukup besar bagi perekonomian," urainya. (owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ubah Harga, KRL Beratkan Rakyat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler