jpnn.com, SEMARANG - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokras (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan jangan sampai pelaksanaan pemilu membahayakan keselamatan warga negara.
Menurutnya, penyelenggaraan pemilu harus memuliakan manusia (humanis).
BACA JUGA: Keren, Kapolri Membuktikan Janji Memotong Kepala
Sebab, pemilu merupakan pemilu artikulasi pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan penghormatan terhadap martabat manusia.
"Penyelenggaraan pemilu jangan sampai membahayakan keselamatan warga negara, dan harus mampu menjaga kemurnian suara pemilih sesuai dengan apa yang menjadi kehendaknya," kata Titi Anggraini dalam keterangannya, Selasa (2/11).
BACA JUGA: AHY Berbicara Soal Kanker Prostat SBY, Semoga Harapannya Terkabul ya
Titi diketahui saat ini juga menjabat Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Dia menyatakan pandangannya usai diskusi publik 'Seleksi KPU/Bawaslu dan Upaya Mengatasi Kompleksitas Pemilu 2024'.
BACA JUGA: SBY Derita Kanker Prostat, Permohonannya Sangat Menyentuh
Menurutnya, sejumlah pasal dalam UUD 1945 mengatur terkait HAM dalam pemilu.
Antara lain, Pasal 22E ayat 1 menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.
Berikutnya, Pasal 27 ayat 1 menyebut segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Selanjutnya, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Menurut dia, makin dominannya barriers to entry dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden/pilkada (nomination threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) membuat parpol menjadi terhambat mencalonkan kader-kader terbaik pada pilpres/pilkada hingga memunculkan fenomena calon tunggal.
"Selain itu, ambang batas parlemen membuat banyak suara sah yang terbuang/suara hangus (wasted votes) yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi," katanya.
Di lain pihak, mahar politik (candidacy buying) membuat kesetaraan akses pada pencalonan menghambat para kandidat potensial untuk maju berkompetisi.
Soal ketidakadilan akses dan perlakuan di antara peserta pemilu, menurut Titi atensi pemilih dan publik didominasi pilpres, mereka acuh pada pemilu anggota legislatif sehingga tingkat pengawasan lemah pada proses pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Dia mengutarakan hal itu tentunya memicu kecurangan yang merugikan partai dan calon anggota legislatif (caleg).
Ditambah lagi pengetahuan minim pada pemilu anggota legislatif berdampak pada anomali surat suara tidak sah yang sangat tinggi.
Titi menilai hal tersebut berpotensi mengakibatkan terjadinya pembegalan hak caleg untuk menjadi calon terpilih melalui penyelesaian perselisihan antar-caleg yang menyimpangi sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak melalui kudeta suara rakyat oleh suara partai.
"Kuasa uang dan dana kampanye yang tidak akuntabel membuat hak untuk mendapatkan kompetisi yang adil dan setara tidak dapat diwujudkan. Inilah sejumlah persoalan HAM dalam pemilu perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan," pungkas Titi.(Antara/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Ken Girsang