Penurunan Tarif Interkoneksi Dukung Persaingan Sehat

Kamis, 09 Maret 2017 – 15:40 WIB
Rudiantara. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan penurunan tarif interkoneksi merupakan salah satu upaya mendukung persaingan sehat di industri telekomunikasi di Indonesia.

Demikian dikatakan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna.

BACA JUGA: CBU Toyota Indonesia Jadi Primadona Pasar Global

Ditegaskan juga, pihaknya berkomitmen mendukung industri telekomunikasi yang sehat.

"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," kata Ketut, Kamis(9/3).

BACA JUGA: Mandiri Dukung Optimalisasi Kesejahteraan Pekebun Sawit

Menurutnya, tidak ada yang diuntungkan dalam penurunan tarif interkoneksi.

"Kalau saya lihat bila interkoneksi itu berbasis biaya, berarti tidak ada yang diuntungkan. Tapi hal ini akan lain ceritanya, bila biaya ini digabungkan dengan komponen lain yang nantinya akan menjadi tarif pungut ke pelanggan," ujarnya.

BACA JUGA: Pemerintah Diharapkan Permudah Pembiayaan Pekebun Sawit

Saat ini BRTI dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) masih terus mengkaji besaran penurunan tarif interkoneksi.

Benyamin Sura, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo, menyampaikan pihaknya sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator.

Dengan verifikator independen tersebut, lanjut Benyamin, diharapkan besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak.

Hal ini penting mengingat desain tarif interkoneksi masih belum berujung titik temu antar pelaku bisnis telekomunikasi.

Sementara itu, pengamat telekomunikasi , Bambang P Adiwiyoto, dalam seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) menyatakan, sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah long run incremental cost (LRIC).

“Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien,” paparnya.

Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien.

Bambang juga menjelaskan, sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah, tetapi menggunakan batas atas. Penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat.

Artinya, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi.

Sebagaimana diketahui, industri telekomunikasi selular yang kuat tentu membutuhkan iklim usaha yang kompetitif karena berhubungan dengan hajat hidup masyarakat.

Ketika iklim kompetisi dapat berlangsung dengan baik, maka masyarakat yang akan memperoleh dampak positif dari keberadaan industri tersebut.

Sebagai industri yang regulated sudah seharusnya pula para pemangku kepentingan pada industri ini mematuhi peraturan yang diputuskan pemerintah.

Kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini.

Padahal jika melihat dasar hukum interkoneksi sudah diatur pada pasal 1 butir 16 UU 36/1999 yang menyatakan bahwa Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda.

Pada pasal 25 UU 36/1999 pada ayat (1) juga dikatakan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikassi berhak mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.

Pada ayat (3) dikatakan bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip : a). Pemanfaatan sumber daya secara efisien, (b), keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi, (c) peningkatan mutu pelayanan, dan (d) persaingan sehat yang tidak saling merugikan.

Jika melihat pasal tersebut interkoneksi merupakan hak bagi operator meminta dan kewajiban bagi operator lain yang diminta.

Meskipun menghasilkan pendapatan, interkoneksi tidak dapat dicatat sebagai bagian dari bisnis operator.

Setiap panggilan antaroperator selalu menggunakan setengah jaringan operator asal dan setengah jaringan operator tujuan, sehingga operator asal wajib memberi bagian pendapatan kepada operator tujuan.

Selain biaya interkoneksi, operator asal juga memungut tarif off net yang penetapan besarannya antar operator berbeda.

Dengan aturan hukum tersebut sebenarnya tidak ada alasan bagi operator untuk menolak pengaturan tarif Interkoneksi, karena hal itu bagian dari regulasi.

Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara menegaskan pemerintah bermaksud untuk mendorong efisiensi operator telekomunikasi dengan kebijakan penurunan tarif interkoneksi.

Kebijakan itu merupakan perwujudan dari kepentingan negara untuk mengutamakan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan masyarakat sebagai pelanggan dan menciptakan industri telekomunikasi yang berkelanjutan (sustainable).

”Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan,” tegasnya.(rl/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Target 4 Juta Ton Beras, Mentan Ajak Tidur 4 Jam


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler