jpnn.com, JAKARTA - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disahkan oleh pemerintah pada awal tahun masih terus menjadi diskusi dan kajian berbagai pihak hingga hari ini.
Sejak rencana strategis skala nasional Kementerian Keuangan melalui PMK. 77/2020 diumumkan, mayoritas pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) menyuarakan sikap keberatan.
BACA JUGA: Pekerja IHT Khawatir Bakal Kehilangan Pekerjaan
Pasalnya, upaya peningkatan pendapatan negara dan menekan angka konsumsi rokok dicanangkan melalui reformasi fiskal yang arahnya kian meningkatkan tarif cukai rokok, serta menghidupkan kembali aturan penyederhanaan struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang sebelumnya pernah dibatalkan.
Para pelaku industri meyakini penyederhanaan struktur cukai tidak akan menjadi jawaban yang tepat untuk visi RPJMN.
BACA JUGA: Puan Maharani Matikan Mikrofon, Jane Shalimar Merespons Begini
Penelitian yang dilakukan mengungkap bahwa adanya penyederhanaan struktur tarif cukai ini hanya akan mencederai struktur cukai yang saat ini telah menaungi secara adil seluruh pelaku IHT dan mata rantai di dalamnya.
Hal ini akan berdampak luas kepada kelangsungan industri maupun penghidupan seluruh pihak yang terkait dengan industri ini.
BACA JUGA: Update Harga Logam Mulia Antam di Pegadaian Hari Ini, Rabu 7 Oktober 2020
“Mewakili para petani, kami meminta agar kenaikan cukai ditunda dengan mempertimbangkan dampaknya kepada petani tembakau. Kami juga meminta kebijaksanaan pemerintah dalam menyusun regulasi terkait IHT termasuk RPJMN 2020-2024. Terlebih lagi di masa pandemi yang kian berdampak pada kelambatan serapan komoditas oleh pabrikan dan harga yang anjlok," ujar Agus Parmuji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dalam webinar 'Ancaman terhadap Eksistensi Bisnis IHT di Tengah Rencana Pembangunan Nasional'.
Disinggung soal penyederhanaan tarif cukai, Agus menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda ini.
“Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu, kan, terbagi besar menengah, kecil. Keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. Makin besar kompetisi, kami (hasil tani) makin banyak dicari," serunya.
Ketua tim riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) Putra Perdana menilai, apabila aturan penyederhanaan tarif cukai ini diterapkan bisa menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri seperti simulasi di atas.
Ketidakmampuan para pelaku industri untuk bersaing bisa mengarahkan industri hasil tembakau ke struktur pasar oligopolistik, bahkan dalam level yang lebih ekstrem bergeser ke monopoli.
Di mana hanya ada segelintir pelaku industri yang mendominasi pasar, yaitu pelaku industri yang berasal dari golongan atas, yang telah memiliki pangsa pasar yang besar pula.
“Jika pemerintah ingin menyelaraskan visi pembangunan nasional dengan aspek keadilan bagi pelaku usaha, pengetatan regulasi cukai dan penerapan penyederhanaan struktur tarif cukai sungguhtidak tepat. Kami berharap pemerintah meninjau lagi upaya pembangunan nasional tanpa membuka celah menyuburkan praktik oligopolistik dan monopolistik bagi IHT," serunya.
"Untuk mencipatakan suatu iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan, sebaiknya pemerintah mulai menetapkan peta jalan yang mampu mengakomodir seluruh rantai IHT dengan adil,” tutupnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy