Penyelesaian Kisruh Jiwasraya Harus Mengutamakan Kepentingan Nasabah

Senin, 03 Februari 2020 – 11:56 WIB
Presiden Direktur Centre For Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri. FOTO: Dok.pri

jpnn.com, JAKARTA - Seluruh lembaga negara yang berkomitmen menyelesaikan sengkarut keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) perlu mengutamakan kepentingan nasabah. Artinya, dana mereka harus segera dikembalikan.

Pandangan tersebut disampaikan President Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/2).

BACA JUGA: Pansus Hak Angket Diyakini Bisa Ungkap Kasus Jiwasraya

“Kami berharap semua pihak DPR, BPK, Kejaksaan Agung, Ombudsman, menggunakan kewenangannya untuk  melindungi nasabah  dengan pendekatan bisnis yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, objektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis, karena Nasabahlah yang hari ini dirugikan bukan negara dalam kasus jiwasraya,” paparnya.

Dirinya mengaku miris lantaran ada ada pihak yang mempunyai kewenangan, namun berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukkan superioritas lembaga, tanpa memedulikan pemegang polis yang hari ini menunggu kepastian pembayaran.

BACA JUGA: Said Didu: Perampok Duit Jiwasraya Harus Dimiskinkan

Menurutnya, sistem keuangan non-bank saat ini, masih jauh dari kukuh seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), ada klausul yang menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank, dan bukan asuransi.

BACA JUGA: Usai Rapat Tertutup, Erick Thohir dan Panja Jiwasraya Seirama

Logika dasarnya adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

"Sementara itu berdasarkan akal sehat lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang secara relative besar dengan sektor keuangan lainnya," paparnya.

Selanjutnya, Deni memaparkan ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil alih perusahaan asuransi AIG, karena memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang besar dengan industry keuangan. Kala itu, AIG dimiliki swasta dan diambilalih oleh negara.

Pengambilalihan itu memang tidak mulus lantaran ditentang banyak pihak. Alasannya, dianggap negara tidak boleh memiliki badan usaha milik negara, namun karena alasan yang kuat dari argumentasi ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang sangat besar terhadap sektor perekonomian khususnya sektor keuangan maka langkah pengambilalihan tersebut juga disetujui parlemen.

Selanjutnya, kata Deni, Pemerintah AS mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengambilalih AIG. Belakangan, keputusan pemerintah AS ternyata tepat. Karena memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk membail-out AIG, pemerintah AS menggelontorkan US$182,3 miliar, dan menjualnya US$205 miliar.

Artinya, ada keuntungan sebesar US$22,7 miliar. Di mana, dana bailout US$182,3 miliar itu berasal dari pemerintah AS dan bank sentral AS cabang New York, yang merupakan pinjaman. Dalam hal ini, pemerintah AS mendapatkan 79,9% saham AIG.

“Penting untuk dicatat, bahwa pinjaman diberikan oleh bank sentral! Pengalaman ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia," ungkap Deni.

Terkait Jiwasraya, Deni mengusulkan pemerintah membentuk tim untuk mengevaluasi dampak sistemik dari kasus seperti Jiwasraya ini. Tentunyan bukan ranah Komite Stabilitas Sistem Keungan (KSSK), karena tidak ada undang-undang yang mendukung KSSK melakukan bailout terhadap Jiwasraya.

Berdasarkan undang-undang yang ada, undang-undang menutup mata bahwa kasus lembaga asuransi pasti tidak bersifat sistemik.

Untuk itu, ia menyarankan dibentuk sebuah tim yang sebaiknya dipimpin Meneg BUMN Erick Thohir dengan penasehat yang berkualitas dan berinteritas.

"Tujuannya bukan saja menyelamatkan Jiwasraya tetapi juga memastikan bahwa Jiwasraya tidak berpotensi menjadi krisis yang bersifat sistemik, selain juga untuk menjamin pemerintah Indonesia akan mendapatkan keuntungan jika nantinya dilakukan bailout," ungkapnya.

Belajar dari pengalaman AS membail-out AIG, kata dia, solusi bisnis harus lebih diutamakan. Kepada seluruh jajaran OJK tetap professional karena sebagai regulator dan pengawas selamanya akan diserang dan dihujat.

"Tidak akan ada yang memuji hasilnya, walaupun IMF telah memuji OJK dalam laporan formal IMF 2019. Disebutkan bahwa sistem perbankan di bawah kendali OJK, terbukti telah dikapitalisasi dengan baik dan profitabilitasnya tinggi dengan pengembangan aset 2.5%, kondisi ini dipastikan tidak akan pernah meledak menjadi krisis," ungkap Deni.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler