jpnn.com - Pakar Hukum Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Dr Sadino, SH., MH menjelaskan, permasalahan izin bisnis perkebunan kelapa sawit terkait dengan permasalahan administrasi.
Jika ada permasalahan izin, itu bukan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara korupsi.
BACA JUGA: Raker dengan Komisi IV DPR, Menteri Siti Paparkan Capaian Kinerja Positif KLHK 2022
Menurut Sadino, hal tersebut diatur oleh Perpu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal 110A.
Di situ disebut kegiatan usaha dalam kawasan hutan dan memiliki perizinan berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun.
BACA JUGA: Begini Penjelasan Saksi dari KLHK soal Kedudukan Kawasan Hutan
“Jika setelah lewat tiga tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan maka akan mendapat sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulis.
Menurut Sadino, para pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin.
BACA JUGA: Dirjen PSLB Rosa Vivien: KLHK Berupaya Kurangi Sampah Plastik
“Permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya mendapat sanksi administratif bukan sanksi pidana. Sebab, izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” tegas Sadino.
Lebih lanjut, Sadino menyebut Pasal 110A dan 110B UUCK menggunakan Asas Hukum "Ultimum remedium" dan "Restoratif Justice", yang mencakup kebun sawit di kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK serta mewajibkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk Korporasi dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 hektar.
Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah, sehingga model penyelesaiannya perlu verifikasi teknis sesuai PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.
Menurut Sadino, ketentuan Pasal 25 ini tidak memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 9 Juli 2012 yang telah merubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888, bertentangan dengan UUD Republik Indonesia 1945 sepanjang tidak dimaknai.
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, selama kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Herban Heryadana menyebut dalam menentukan kawasan hutan perlu ada kesepakatan Menteri LHK dengan Pemerintah Daerah, termasuk di Riau.
Kesepakatan tersebut lalu diformalkan dalam bentuk peta tata guna hutan dengan Surat Keputusan Menteri.
Herban menjelaskan, saat disepakati terjadi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dalam peta tersebut, ada wilayah areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi.
“Kalau kami pelajari dari peta yang ada, dari peta TGHK bisa melihat fungsi kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan."
"Di TGHK masih berbunyi HPK atau APL. Kalau kawasan hutan itu sebenarnya tidak mengacu kepada wilayah-wilayah administrasi. Jadi, sebenarnya tinggal kita bagi saja berdasarkan batas-batas administrasi,” ucap Herban.(mcr15/jpnn)
Redaktur & Reporter : Dhiya Muhammad El-Labib