Perampasan Aset Pihak Ketiga dalam Kasus Hukum Diminta tak Melanggar Hukum

Selasa, 02 Maret 2021 – 23:12 WIB
Palu hakim simbol putusan pengadilan. Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA TIMUR - Pakar hukum pidana Patra M Zen mengatakan, penyitaan terhadap aset-aset dalam suatu perkara, seringkali dilakukan tanpa proses verifikasi dan hanya berdasarkan keterangan saksi.

Di sisi lain, lanjut dia, putusan untuk merampas aset, apakah itu merupakan barang bukti ataupun aset yang diduga terkait tindak pidana, harus dibuktikan melalui pemeriksaan dan verifikasi.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Gibran dan Menantu Jokowi Mulai Beraksi, Rocky Gerung Bereaksi Keras, Ada yang Datangi Paspampres

Hal itu diungkapkan Zen dalam bedah buku yang mengangkat tema Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Yang Beriktikad Baik Atas Harta Kekayaan Dalam Perkara Pidana yang diselenggarakan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Senin (1/3).

Zen mengucapkan itu terkait maraknya kasus keberatan pihak ketiga ke PN Tipikor atas putusan perampasan aset pihak ketiga.

BACA JUGA: Babak Baru Kasus Korupsi Jiwasraya Rp 16,81 Triliun

“Sering kali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset," kata dia, Senin.

Hal ini, kata dia, menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak lain. Dalam hal ini pihak ketiga yang beriktikad baik dalam suatu perkara.

BACA JUGA: 2 dari 8 Tersangka Korupsi Asabri Merupakan Terdakwa di Kasus Jiwasraya

Dia pun menjelaskan, Pasal 19 UU Tipikor sebetulnya bisa menjadi jalan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan perdata. Namun, diakui Zen hanya sedikit mengatur mengenai perlindungan pihak ketiga.

Hal lain yang menjadi persoalan yakni Pasal 19 UU Tipikor adalah menyangkut definisi pihak ketiga beritikad baik. Ketentuan ini yang tidak secara tegas diatur dalam hukum pidana. 

Namun, ungkap Zen, definisi pihak ketiga beritikad baik, kaitannya dengan hak atas harta kekayaan, ialah harta diperoleh dengan jujur dan wajar.

 “Namun masalahnya mereka tidak pernah dihadirkan dan diperiksa untuk membuktikan harta kekayaan yang disita dalam sidang perkara terdakwa,” ujar dia.

Sementara itu, pakar hukum Juniver Girsang mengatakan, Pasal 19 UU Tipikor prinsipnya merupakan perintah aktif bagi hakim dalam menangani perkara keberatan.  

Yakni dalam putusannya hakim harus melihat bahwa barang sitaan harus memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 39 ayat 1 KUHAP juncto Pasal 18 UU Tipikor 

Dia mengatakan, pengertian pihak ketiga beritikad baik dalam konsep hukum pidana belum diatur secara jelas, sehingga sering menimbulkan penafsiran dan pemahaman berbeda-beda. 

Namun, dalam konteks Undang-Undang 8 Tahun 2020 tentang TPPU menyebut pihak ketiga yang beriktikad baik didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya. 

Pihak ketiga beritikad baik juga dikategorikan sebagai mereka yang tidak menyadari keberadaannya digunakan atau dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.

Kemudian mereka yang tidak memiliki hubungan dan tidak dalam kekuasaan ataupun perintah pelaku TPPU.

Juniver mengatakan, Pasal 19 Tipikor memang memberi ruang perlindungan hukum pihak ketiga dalam hal penyitaan atau perampasan aset.

Namun, masalahnya belum terdapat hukum acara yang jelas yang mengatur soal tata cara keberatan pihak ketiga dalam hal asetnya yang ikut terampas.

“Apakah mengacu ke hukum acara perdata atau murni pidana. Masalah lainnya muncul bagaiamana proses satu keberatan diperiksa sementara perkara pokoknya masih berjalan?" ujar dia.

“Persoalan lain juga muncul jika dua proses peradilan itu memutuskan hasil yang bertentangan. Mana putusan yang akan menjadi pegangan?” ungkap dia.

Di sisi lain, kata Juniver, terdapat asas dalam hukum Indonesia yang dianut, yakni hukum pidana yang terdepan diberlakukan.

Mengacu belum memadainya hukum acara dan kriteria mengenai pihak beriktikad baik, Juniver sepakat bahwa pihak yang mengaku sebagai pemilik sah harus diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan terdakwa. 

Pemeriksaan dan pembuktian dilakukan secara simultan dengan proses persidangan perkara pidananya. “Ini harus dilakukan agar tidak terjadi dualisme putusan,” ujar dia.

Seperti diketahui, saat ini ada lebih 102 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor Jakarta terkait perampasan aset yang melibatkan ribuan pihak dalam kasus korupsi dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. 

Termasuk di antaranya keberatan dari 26 ribu lebih nasabah pemegang polis asuransi PT Wanaartha yang subrekening efeknya disita. 

Gugatan juga muncul dari sejumlah investor dan perusahaan yang melakukan investasi di bursa, pascaputusan pengadilan Tipikor yang merampas aset berupa saham, rekening efek dengan dugaan ada kaitannya dengan aliran dana dari para terpidana dalam megakorupsi tersebut.

Hingga kini proses sidang-sidang keberatan tersebut masih berlanjut dan belum ada satu pun yang diputus. (ast/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler