Perampingan Birokrasi Apa? Istana Malah Mengalami Obesitas

Selasa, 31 Desember 2019 – 08:05 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago menilai penambahan posisi Wakil Kepala Kantor Staf Presiden, seperti tertuang di Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 tentang KSP, membuat struktur jabatan di Istana semakin gemuk.

Menurut Pangi, kebijakan tersebut sungguh bertentangan dengan program perampingan birokrasi dengan pemangkasan jabatan eselon.

BACA JUGA: Serangan Balik Pihak Istana Tanggapi Omongan Kurnia Ramadhana ICW

"Kebijakan ini paradoks. Mengapa? Presiden Jokowi memberikan contoh preseden buruk di tengah agenda pemangkasan birokrasi (reformasi birokrasi)," kata Pangi, Selasa (31/12).

Dikatakan, Presiden Jokowi di hadapan anggota MPR pada saat pelantikan presiden berpidato dengan nada optimistis akan melakukan pemangkasan jabatan strukrural. Namun struktur birokrasi di lingkaran istana malah semakin gemuk.

BACA JUGA: Jawab Permintaan ICW, Jokowi: Tam Tim Tam Tim, Hahaha

"Bagaimanapun ceritanya, penambahan jabatan atau nomenklatur baru untuk penyokong kinerja presiden pasti akan menambah beban anggaran," kata direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu.

Menurut Ipang, sapaannya, yang paling penting adalah bagaimana pemerintah menjelaskan manfaat, tugas dan fungsi dari masing-masing posisi dan jabatan baru itu kepada masyarakat sehingga publik tidak buru-buru curiga. "Juru bicara presiden harus clear menjelaskan ke publik asbabun nuzul urgensi adanya jabatan baru ini," ungkapnya.

BACA JUGA: Ruhut Sitompul: Ada yang Kebakaran Jenggot atas Penangkapan Penyerang Novel Baswedan

Menurut dia, publik wajib mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap termasuk rasionalisasi atas kebijakan tersebut, karena ini sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah ke masyarakat.

"Jika tidak ada rasionalisasi yang jelas, kalau memang tidak ada gunanya kenapa ditambah? Kira-kira kan begitu," kata Ipang.

Dia mengatakan presiden harus menghindari menambah jabatan sebagai bagian dari upaya akomodasi politik semata.

Menurut dia, boleh jadi tidak begitu penting penambahan posisi tersebut karena tak punya korelasi linear terhadap peningkatan kinerja. "Yang ada hanya pemborosan keuangan negara," tegasnya.

Pangi menyoroti pula betapa gemuknya pemerintahan Jokowi 2019-2024. Lebih gemuk dari periode pertama. Pada 2019-2024 Jokowi mengadakan jabatan staf khusus, staf khusus milenial sebanyak tujuh orang.

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebanyak sembilan tokoh. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) delapan anggota. Wakil menteri yang berjumlah 12 personel, dan lain-lain. "Namun yang menjadi pertanyaan apa manfaat semua itu bagi masyarakat?" tanya Ipang.

Menurut Ipang, kalau akomodasi politik lebih diutamakan ketimbang urgensi maka sesungguhnya presiden berada pada posisi yang lemah dan tidak mampu berkutik menghindar atau melawan tekanan politik.

"Penambahan struktur dan jabatan strategis di lingkaran presiden harus punya rasionalisasi yang kuat, jika tidak maka presiden akan distempel inkosisten," tuntas Ipang. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler