Peran Bioinformatika dalam Pencarian Vaksin COVID-19

Rabu, 15 April 2020 – 15:40 WIB
Ilustrasi COVID-19. Foto: diambil dari covid19goid

jpnn.com, JAKARTA - Para pakar kesehatan dunia menyebutkan bahwa Indonesia menghadapi lonjakan jumlah pasien corona atau COVID-19.

Masyarakat ikut resah dengan bertambahnya kasus pandemi ini dari hari ke hari, tanpa adanya pemahaman yang jelas mengenai virus tersebut.

BACA JUGA: Australia Mulai Uji Coba Vaksin Covid-19

Menanggapi hal tersebut, Kepala jurusan Bioinformatika Indonesia International Institute for Life Sciences (i3I) Dr.rer.nat, Arli Aditya Parkesit memberikan perspektif bioinfromatika mengenai virus tersebut.

“Penyebab COVID-19 dapaat dianalisis oleh ilmu bioinformatika dalam rangka mencari solusi untuk cetak-biru diagnostik, pengobatan, dan pencegahan dalam bentuk vaksin. Dalam konteks diagnostik, yang dilakukan adalah navigasi ke basis data genome SARS-CoV-2 untuk mencari conserve region yang dapat dikembangkan sebagai marker untuk diagnosis molekuler,” kata Arli.

BACA JUGA: Ilmuwan Israel Targetkan Uji Vaksin Virus Corona Pada 1 Juni

Dalam konteks pengobatan, ada dua strategi yang dikembangkan oleh bioinformatisi. Yang pertama adalah menggunakan basis data obat yang sudah ada, atau drug repurposing. Yang kedua adalah menggunakan basis data herbal, yang juga sudah banyak dikembangkan oleh Tiongkok.

“Dalam konteks pengembangan vaksin, kita menggunakan metode immunoinformatika untuk mendesain vaksin generasi baru yang lebih aman karena materi genetikanya tidak diikutsertakan,” ujarnya.

BACA JUGA: Negara-negara Dunia Akan Suntik USD 4 Miliar untuk Temukan Vaksin Covid-19

Arli mengingatkan masyarakat untuk mengikuti imbauan pemerintah dalam mencegah penyebaran virus tersebut. Seperti physical distancing, rajin cuci tangan, pakai masker, dan lainnya. Jangan pergi ke rumah sakit jika tidak sakit berat, dan terutama ikuti petunjuk dari RT/RW terkait pengamanan wilayah masing-masing.

“Dissenting opinion atau perbedaan pendapat terhadap ketentuan atau kebijakan pemerintah harap serahkan ke ahlinya, seperti pakar epidemiology/public health, dokter spesialis penyakit dalam dan paru, maupun ilmuwan yang bekerja di bidang terkait virologi seperti molecular pharmacology, biomedik dan bioinformatics,” tuturnya.

Menurut Arli, virus ini memiliki beberapa klaster, yang dimungkinkan berkembang menjadi beberapa subtype. Fenomena ini juga terjadi pada virus lain, seperti HIV, Flu, dan Dengue/DENV.

Konsekuensinya, desain vaksin ke depannya sangat mungkin harus membuat tulang punggung atau backbone yang dapat meng-cover semua klaster, yang bukannya tak mungkin akan berkembang menjadi subtype sendiri.

“Tantangan terbesar semua ini adalah materi genetic SARS-CoV-2 yang berupa RNA, sehingga sangat mudah bermutasi. Ini yang menyebabkan pengembangan vaksin sangat menantang, walaupun jika menggunakan ilmu bioinformatika dan instrument biomedis molekuler termutakhir, kemungkinan berhasil selalu ada,” pungkasnya.(mg7/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler