Seorang pengamat politik mengatakan bahwa pendukung senyap atau 'silent majority' menjadi kelompok yang berpengaruh besar pada perolehan suara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019. Melawan dalam diam:Hitung cepat dari 10 lembaga survey mengunggulkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam pilpres 2019Kontestasi dua pasangan capres dan cawapres diwarnai maraknya serangan fitnah dan hoaxJokowi korban hoaks politik terbanyak

BACA JUGA: Tanggapi Quick Count, Prabowo Prihatin Jokowi Minta Pendukung Bersabar

Maraknya serangan hoax dan tudingan anti Islam selama kampanye ternyata tidak berhasil menumbangkan dukungan terhadap petahana.

Hasil hitung cepat pilpres 2019 hingga Rabu (17/4/2019) tengah malam oleh 10 lembaga survey masih menempatkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul sementara atas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

BACA JUGA: Pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin Dilaporkan Unggul Telak di Australia

Selisih suara diantara kedua kubu berkisar antara 7% sampai 11%,

Keunggulan sementara kubu Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin dalam hal perolehan suara ini dinilai oleh pengamat dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Wahyudi Akmaliah dipengaruhi oleh fenomena perlawanan pendukung senyap atau 'silent majority' pendukung Jokowi.

BACA JUGA: Lingkungan Hidup Jadi Isu Utama Dalam Pemilu Australia

Mereka adalah pemilih yang selama ini menyimak perdebatan seputar kontestasi politik dua pasangan capres dan cawapres di pilpres 2019, namun memilih tidak berkomentar atau menunjukan pilihannya.

Terutama dalam menyikapi maraknya fitnah dan hoax yang marak beredar sepanjang kontestasi.

Wahyudi mengatakan militansi dan agresivitas yang ditunjukan oleh tim sukses dan pendukung kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam menanggapi fitnah dan hoax tersebut justru telah menjadi senjata makan tuan yang akhirnya justru menggembosi perolehan suara kubu mereka sendiri.

"Hoax-hoax ini banyak beredar di WAG dan itu sangat marak, pada satu sisi pendukung tim 02 itu sangat militant dan agresif. Dan itu mereka perlihatkan terus dengan biasanya terus kirim materi. Ini menciptakan semacam kemuakkan di kalangan pendukung 01 maupun mereka yang belum menentukan pilihan (swing voter)." katanya.

"Pemilih yang tahu kinerja Jokowi biasanya memilih menyimak saja (silent reader). Dan kemuakan itu mereka tunjukan dengan meningkatkan partisipasi politik. Mereka membalasnya di bilik di TPS." tambahnya. Photo: Pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin menang telak atas lawannya Prabowo Subianto - Sandiaga Uno seperti di TPS I di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jawa Barat. (ABC: Iffah Nur Arifah)

Wahyudi mengatakan model perlawan silent majority ini tidak lepas dari karakter masyarakat Indonesia yang tidak begitu menyukai konfrontasi terbuka.

"Ini memang tipikal orang Indonesia, khususnya orang Jawa dan beberapa kota lain memang mereka kalau tidak suka biasanya diam, tidak mau menghadapi atau berdebat langsung," tukasnya.

Sepanjang masa kampanye pilpres 2019 yang berlangsung selama 8 bulan sejak September lalu ini, bermunculan fitnah dan hoax di masyarakat terutama di internet dan media sosial.

Sejumlah survey menyimpulkan serangan fitnah dan hoax itu lebih banyak ditujukan ke pasangan calon dari kubu petahana Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Lembaga PoliticaWave menyebut Jokowi adalah korban hoax politik terbanyak dan mencatat selama kontestasi Pilpres 2019 ini, 10 hoax terbesar dengan jumlah percakapan terbanyak di internet seluruhnya menyerang Jokowi.

Hoax tersebut diantaranya isu penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet, utang pemerintah dari China, kontainer berisi surat suara, serbuan tenaga kerja asing hingga Jokowi dituduh PKI, anti Islam sampai larangan azan.

Namun Wahyudi Akmaliah menambahkan tidak dipungkiri agresivitas dan militansi pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ini memang berhasil mendongkrak secara signifikan suara kubu oposisi.

"Hasil Quick Count ini cukup mengagetkan dimana perolehan suara Prabowo Sandi diluar perkiraan banyak lembaga survey dan selisih suara sangat tipis." Photo: Dukungan suara dari kalangan pemilih muslim menjadi sangat diperebutkan dalam Pilpres 2019. (ABC: Iffah Nur Arifah)

Pemilih Islam di Indonesia makin dewasa

Wahyudi Akmaliah yang juga pengamat budaya populer dan kemasyarakatan ini menilai salah satu momen yang juga turut mempertebal keyakinan pemilih silent majority khususnya di kalangan umat Islam adalah pemberitaan ibadah umroh yang dilakukan Joko Widodo di masa tenang.

"Swing voter yang terpapar hoax dan masih berpikir Jokowi Kristen, anti Islam kemudian menyaksikan pemberitaan ibadah umroh Pak Jokowi di media dan itu berhasil meyakinkan pemilih yang masih meragukan keislaman Jokowi." tambahnya.

Efek pemberitaan umroh ini juga yang menurut Wahyudi telah menyelamatkan Joko Widodo dari kekalahan pada 2014 lalu.

"Tahun 2014, beberapa pekan menjelang pilpres itu, sejumlah survey menunjukan posisi Jokowi sudah gawat di ambang kekalahan. Tapi lalu diluar strategi tim suksesnya, Jokowi pribadi memilih melakukan umroh seperti yang juga dia lakukan ketika hendak menjadi walikota Solo. Dan itu terbukti menarik simpati pemilih ketika itu," katanya. Photo: Yenny Wahid, salah satu juru bicara Tim Kemenangan Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf menilai pemilih Islam di Indonesia sudah dewasa dalam menyikapi berita hoaks. (ABC: Iffah Nur Arifah)

Sementara itu, salah satu anggota Tim Kemenangan Nasional Joko Widodo - Ma'ruf Amin, YenniyWahid menilai kemenangan sementara kubu 01 menunjukan kematangan sikap pemilih, khususnya umat Islam di tanah air dalam menyikapi fitnah dan hoax dalam Pilpres 2019.

"Insya Alloh umat Islam di Indonesia sudah bisa membedakan mana hoax dan mana yang tidak. Dan semua tuduhan kalau Pak Jokowi jauh dari umat dan anti Islam ternyata tidak terbukti. Sebaliknya terakhir bahkan Pak Jokowi diterima Raja Salman. Jadi semua hal yang yang dituduhkan, hoax-hoax itu tidak berdasar." Kata Yenny Wahid di Ballroom Jakarta Theater usai pidato petahana Jokowi.

Yenny Wahid meyakinkan Joko Widodo akan merangkul semua kalangan jika nanti dikukuhkan sebagai pemenang Pilpres 2019.

"Pak Jokowi akan menjadi presiden bagi semua umat yang ada di Indonesia. Bahkan bagi umat islam yang ada di kubu pak Prabowo. Pak Jokowi akan tetap menjadi pemimpin mereka dan akan mendengarkan keluh kesah mereka serta aspirasi mereka." tegasnya.'Bumbu' pesta demokrasi

Sementara itu sejumlah warga mengakui suasana pilpres 2019 ini memang sangat 'panas' dan sengit. namun mereka menilai hal itu sebagai 'bumbu' yang menyemarakkan pesta demokrasi di tanah air.

Linda, 47 tahun, yang mendukung Joko Widodo sejak 2014 lalu mengaku terlibat debat sengit dengan pendukung 02 di whatsapp grup yang diikutinya.

"Di WAG saya memang lebih banyak 01, tapi yang 02 juga gak mau kalah. Ada yang 'left grup' ada juga yang pilih gak berteman dulu selama pilpres. Hampir setiap hari sahut-sahutan, tapi saya lebih memilih memberitahu yang positif-positif saja dari hasil kerja dan program Pak Jokowi dan cuekin aja mereka 'ngomong' apa," katanya. Photo: Gadiel, 19 tahun, pemilih pemula mengaku serangan dan militansi pendukung kubu 02 terhadap kubu 01 yang didukungnya sering menjengkelkan. (ABC: Iffah Nur Arifah)

Sementara bagi pemilih pemula seperti Gadiel diam dan menghindari perdebatan sebagai pilihan yang lebih baik.

"Di medsos memang seru saling serang, tapi kebanyakan pendukung Jokowi memang gak balas atau terpancing. Walau saya sebenarnya sebel. tapi tahan aja. Daripada dilawan mereka makin jadi, makin panas dan nanti dianggapnya kita (01,red) sama seperti mereka, jadi saya biarkan saja." kata milenial pemilih pemula itu.

"Makanya tahu hasil hitung cepat ini, rasanya seneng banget, akhirnya paslon jagoan saya menang," katanya.

Lain halnya dengan Anton Sitorus, 55 tahun yang memilih tidak terlalu terlibat dalam perdebatan seputar pilpres 2019 ini.

"Kalau gak begitu gak seru dong pemilu, memang harus ada sengit-sengitan antar pendukung. Tapi saya gak mau fanatik sekali sama hal 'begituan'. Hidup aja masih susah, ngapain buang waktu ngotot bela capres. Langsung pilih aja jagoan kita," ungkap pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi taksi di Jakarta.

Ikuti berita-berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Belum Ada Kepastian Pemungutan Suara Lanjutan Akan Dilakukan di Sydney

Berita Terkait