Perang Dunia III

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 27 Februari 2022 – 17:21 WIB
Konflik Rusia Vs Ukraina. Ilustrasi: Sultan Amanda/JPNN.com

jpnn.com - Bangsa Rusia mempunyai kenangan yang buruk terhadap perang. Hal itu hidup dalam kenangan kolektif bersama dan sudah menjadi kesadaran bersama untuk tidak mengulangi kondisi hidup susah akibat perang.

Karena itu, ribuan warga Rusia turun berdemonstrasi di lapangan St Petersburg untuk menentang invasi Rusia ke Ukraina.

BACA JUGA: Kiev Terkepung

Kenangan buruk terhadap kondisi perang itu digambarkan oleh penulis besar Rusia Leo Tolstoy dalam novel masterpiece "War and Peace". Novel itu berlatar kejadian semasa Perang Napoleon (1820) dan dianggap sebagai novel terbaik yang pernah ditulis sepanjang abad ke-19 sampai sekarang.

Novel itu berisi peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah serbuan pasukan Napoleon ke Rusia. "War and Peace"  memiliki gaya realisme tinggi, lingkup cerita yang begitu luas, serta unsur psikologi yang dalam. Hal itu belum dapat ditandingi oleh novel mana pun.

BACA JUGA: Bangsa Tempe

Kepedihan karena penderitaan perang digambarkan dengan sangat detail sehingga membawa pengaruh yang sangat kuat pada masyarakat Rusia. Tolstoy memaparkan kehidupan yang penuh foya-foya dari keluarga kelas atas yang berdampak pada berbagai kesulitan yang dialami rakyat Rusia kelas menengah bawah.

Tidak semua pelaku perang adalah pahlawan. Tolstoy melukiskan para pahlawan perang yang tidak dihormati.

BACA JUGA: Tanpa Nuklir

Tolstoy mengkritik para sejarawan yang selalu memunculkan satu nama sebagai “pahlawan besar” yang digambarkan memiliki peran penting dibanding serdadu lainnya, padahal mereka memiliki perjuangan yang sama, yaitu berjuang di medan perang, dan mati bersama-sama.

Tolstoy memainkan gaya realisme dan psikologis dalam setiap kata yang ia gunakan. Berbagai adegan menggambarkan bagaimana perang hanya menghasilkan kesengsaraan, sementara para bangsawan hanya peduli pada dirinya sendiri, sedangkan para serdadu hanya dapat meratapi nasibnya.

Bayangan kondisi buruk itu sekarang muncul lagi di kalangan masyarakat Rusia akibat konflik dengan Ukraina. Ketegangan dengan negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet itu sudah berlangsung sejak ambruknya sistem komunis Soviet dan negara-negara kecil itu memerdekakan diri.

Rusia selalu ingin menegaskan dominasinya terhadap Ukraina. Akan tetapi, Ukraina tetap mempertahankan kemerdekaannya dengan gigih.

Rusia geram, tetapi dipaksa untuk bersabar. Perang akan selalu memakan biaya mahal, dan salah hitung dalam perang akan berakibat fatal.

Peperangan militer memperebutkan wilayah yang saling berbatasan langsung adalah bagian dari sejarah panjang geopolitik internasional. Pada masa Perang Dingin, Amerika dan Uni Soviet saling gertak dan tidak pernah terlibat perang secara langsung.

Uni Soviet bisa menembakkan rudal langsung ke Finlandia yang berbatasan langsung. Finlandia -yang dilindungi oleh Amerika karena menjadi bagian dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)- selalu merasa terancam oleh Uni Soviet, karena  wilayahnya yang berbatasan langsung.

Kendati demikian selama perang dingin hampir setengah abad tidak pernah insiden serangan langsung dari Uni Soviet ke Finlandia. Hal yang sama terjadi antara Tiongkok dan Taiwan yang hanya dipisahkan oleh selat kecil.

Tiongkok bisa menyerang Taiwan setiap saat. Taiwan juga selalu merasa terancam oleh serangan Tiongkok.

Namun, sejak Taiwan memisahkan diri dari daratan Tiongkok pada 1949 sampai sekarang, tidak pernah terjadi perang terbuka. Konflik kecil sering kali terjadi, tetapi belum pernah terjadi sekalipun perang terbuka.

Tiongkok tentu berhitung karena Taiwan mendapat perlindungan penuh dari Amerika. Setiap saat Tiongkok menyerang Taiwan, Amerika pasti siap sedia untuk membela.

Kedua belah pihak mengetahui kekuatan masing-masing sehingga maka konflik terbuka tidak pernah terjadi. Kedua belah pihak sama-sama melakukan deterrence, tindakan menahan diri.

Faktor deterrence ini menjadi salah satu rem yang pakem untuk menghindari perang. Rasa takut terhadap lawan menjadi faktor deterrence yang sangat penting.

Kendati demikian, ada faktor deterrence lain yang lebih penting untuk menghindari perang, yaitu faktor keinginan untuk maju dan modern.

Ahli politik Kishore Mahbubani menyebut faktor itu sebagai "march to modernity" atau derap menuju modernitas. Setiap orang ingin merasakan modernitas dan kemajuan eknonomi supaya bisa merasakan kesejahteraan hidup dan meninggalkan kesengsaraan akibat kemiskinan.

Derap menuju modernitas ini menjadi faktor yang tumbuh sangat kuat di wilayah Asia dan berbagai penjuru dunia lain. Negara-negara Asia sekarang tengah berpacu menuju modernitas, dan karena itu mereka fokus untuk mengejar kemajuan ekonomi dan menghindari konflik dan peperangan.

Setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet ambruk, konstelasi geopolitik internasional mulai bergeser. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya yang mengemban tugas sebagai polisi dunia.

Tugas itu dirasa terlalu berat oleh Amerika karena sangat membebani anggarannya. Itulah yang menyebabkan Amerika memutuskan menarik diri dari Afghanistan setelah menduduki negara itu sepuluh tahun lebih.

Biaya perang yang tinggi membuat Presiden Joe Biden memutuskan mengakhiri pendudukan panjang itu. Biden lebih memilih menahan malu ketimbang menanggung biaya mahal.

Amerika tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Karena itu, Amerika juga sangat berhati-hati dalam menyikapi konflik Ukraina.

Perang terbuka dalam skala besar tidak akan menjadi opsi. Prediksi yang mengatakan bahwa konflik Rusia-Ukraina akan menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga tidak berdasar.

Rusia bisa saja didukung oleh Tiongkok dan Turki. Namun, aliansi besar itu tidak akan gegabah untuk melakukan perang terbuka. Perang terbuka dengan skala besar tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kehancuran masal bersama.

Rusia punya nuklir. Amerika juga punya nuklir. Akan tetapi, di dalam strategi geopolitik internasional dikenal adanya Deterrence Theory  atau teori saling menjaga diri.

Negara-negara besar itu masing-masing punya nuklir sebagai senjata pemungkas. Namun, masing-masing negara itu juga sama-sama menjaga diri supaya tidak menggunakannya.

Dalam doktrin strategi militer ada mekanisme MAD pada perang terbuka skala besar. Secara harfiah MAD berarti gila, dan dalam teori perang berarti 'mutually assured destruction', yaitu kepastian saling mengancurkan.

MAD adalah strategi keamanan nasional yang menyatakan bahwa penggunaan senjata penghancur masal berskala besar oleh dua pihak, atau lebih, yang bertentangan akan mengakibatkan kehancuran total di pihak penyerang maupun yang diserang.

MAD inilah yang akan menjadi mekanisme paling ampuh bagi Amerika dan Rusia, serta negara-negara besar lainnya untuk menghindari perang terbuka.

Ancaman yang bisa menghancurkan seluruh dunia bukan datang dari perang antar negara, tetapi bisa muncul dari serangan teroris. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, para teroris bisa saja memperoleh senjata pemusnah masal sekelas nuklir.

Para teroris bisa melakukan serangan yang mematikan dan menghancurkan karena tidak ada mekanisme MAD yang menghalangi mereka. Kehancuran lawan adalah kemenangan besar bagi para teroris, sedangkan dalam doktrin MAD, kehancuran lawan berarti kehancuran diri sendiri.

Karena itu jalan damai dan negosiasi akan menjadi jalan yang paling rasional bagi Rusia dalam menghadapi krisis Ukraina. Sebuah laporan intelijen Barat menyebutkan bahwa Rusia harus mengelurkan USD 15 miliar setiap hari untuk membiayai invasi ke Ukraina.

Dengan menganalisis kemampuan finansial Rusia, para intelijen Barat memperkirakan Negeri Beruang Merah itu hanya akan mampu membiayai perang selama 10 hari.

Jika Ukraina mampu bertahan dari gempuran Rusia selama 10 hari, Rusia akan kehabisan amunisi dan bakal memilih jalan negosiasi.

Jalan negosiasi itulah yang paling realistis. Perang Dunia Ketiga -sebagaimana yang diembus-embuskan di media sosial- tidak akan terjadi karena semua pihak sudah menyadari akan hancur bersama-sama.

Pepatah Jawa menyebutnya 'tiji tibeh' atau mati satu, mati semua.(***)

 


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler