Bangsa Tempe

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 22 Februari 2022 – 11:08 WIB
Santri di Pondok Pesantren Sirajussaadah, Depok, Jawa Barat, mengolah biji kedelai guna membuat tempe. Dalam sehari, pondok pesantren itu bisa mengolah dua kuintal kedelai dan membuat tempe yang dijual Rp 6.000 per bungkus. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.

Itu adalah kutipan dari pidato Bung Karno yang sekarang banyak dikutip lagi gegara tempe yang tiba-tiba menjadi barang mahal karena harga bahan baku kedelai yang melonjak.

BACA JUGA: Harga Kedelai Merajalela, DPR Nilai Mendag Tak Punya Solusi

Bangsa tempe adalah sebutan yang terkesan pejoratif, merendahkan, karena tempe diasosiasikan dengan kondisi yang lembek tidak punya semangat.

Sebutan bangsa tempe oleh Bung Karno menjadi kontroversi. Ada yang menganggap Bung Karno merendahkan tempe, ada yang menganggapnya sebagai bagian dari retorika Bung Karno yang memang terkenal jago dalam menciptakan berbagai istilah.

BACA JUGA: Perajin Mogok Produksi selama 3 Hari, Tempe dan Tahu Bakal Langka

Bung Karno mengatakan juga bahwa lebih baik menjadi bangsa tempe daripada makan gaplek.

Dengan tamsil ini Bung Karno ingin membangkitkan semangat bangsa supaya menjadi mandiri dan mampu bersikap independen dari penjajah.

BACA JUGA: Mak-Mak Galau, Kelangkaan Tempe Mulai Terasa, Aduh!

Nasionalisme Bung Karno tidak diragukan lagi. Dia membawa bangsa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaan dan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan.

Secara formal penjajahan telah diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, penjajahan terselubung masih terus berlangsung, dan Bung Karno selalu mengingatkan bahwa perjuangan melawan penjajahan terselubung itu menjadi perjuangan yang panjang.

Revolusi belum selesai. Begitu kata Bung Karno.

Penjajahan fisik, seperti yang dilakukan Belanda dan negara-negara kolonialis lainnya, adalah bentuk dominasi dari penjajah terhadap negara jajahan.

Dominasi dilakukan dengan penguasaan secara langsung terhadap suatu wilayah. Dominasi bisa diakhiri secara formal melalui kemerdekaan. Namun, setelah dominasi pergi masih ada kekuatan penjajah yang tertinggal yaitu hegemoni.

Dalam perspektif Gramsci, dominasi adalah penguasaan fisik, sedangkan hegemoni adalah penguasaan yang bersifat tidak langsung dalam bentuk penguasaan ideologi, peradaban, dan budaya.

Sebuah bangsa bisa saja sudah merdeka dan terbebas dari dominasi. Namun, bangsa itu tidak sadar bahwa sebenarnya mereka tidak benar-benar merdeka karena masih menjadi subjek hegemoni dari negara lain.

Hegemoni itulah yang dilawan oleh Bung Karno dengan mengumandangkan semangat revolusi yang belum selesai. Sebagai seorang orator ulung Bung Karno menciptakan jargon-jargon perjuangan yang dimaksudkan untuk menggelorakan semangat rakyat.

Bangsa tempe bukan sebutan yang menghina, tetapi lecutan untuk membangkitkan semangat.

Bung Karno dengan tegas mengatakan ‘’Malaysia kita ganyang, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika’’.

Ungkapan itu menunjukkan upaya perjuangan Bung Karno untuk membawa Indonesia bebas dari hegemoni, bukan sekadar lepas dari dominasi dalam bentuk penjajahan.

Bung Karno menganggap Malaysia sebagai bentuk hegemoni dari kekuatan penjajah. Karena itu Bung Karno mengumumkan konfrontasi terhadap Malaysia.

Bung Karno menentang Inggris dengan ancaman linggis dan menolak Amerika dengan ancaman setrika. Itu adalah ekspresi Bung Karno untuk menolak hegemoni negara-negara imperialis yang tidak rela kehilangan pengaruh dan kekuasaannya.

Hegemoni itu dilanjutkan dengan wajah yang lebih bersahabat ketimbang penjajahan. Hegemoni dilakukan dengan cara memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara yang baru merdeka.

Alih-alih memberi bantuan, negara-negara imperialis itu memasang jebakan dalam bentuk ‘’debt trap’’ yang akan menyulitkan negara-negara baru itu.

Bung Karno tanpa ragu menolak bantuan-bantuan itu. Go to Hell with your Aids. Pergi ke neraka dengan bantuan-bantuanmu itu. Sebuah perlawanan yang keras dan tegas oleh Bung Karno.

Dengan menampik bantuan itu Bung Karno menepis munculnya hegemoni sebagai bentuk penjajahan baru.

Penjajahan dalam bentuk dominasi sudah menjadi barang kuno bagian dari masa lalu. Namun, penjajahan dalam bentuk hegemoni masih terus terjadi. Kekuatan kapitalisme global sekarang menjadi kekuatan utama yang melakukan hegemoni dengan menumpangi proses globalisasi.

Hegemoni adalah sebuah konsensus yang membawa ketertundukan melalui penerimaan ideologi dari kelas yang menghegemoni dari kelas yang terhegemoni. Hegemoni bukan hubungan dominasi yang menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi.

Terdapat dua model penguasaan, satu melalui dominasi atau penindasan dan satunya melalui kesadaran moral. Hegemoni berlangsung seolah tanpa pemaksaan, tetapi dengan penerimaan.

Penggunaan dolar Amerika sebagai alat tukar global adalah jenis hegemoni yang paling nyata. Tidak ada yang memaksa negara-negara untuk bertransaksi dengan dolar, semua melakukannya dengan suka rela.

Negara-negara dengan sukarela menjadi bagian dari organisasi internasional seperti IMF (dana moneter internasional), WTO (organisasi perdagangan internasional), atau WHO (organisasi kesehatan dunia), dan dengan sukarela mengikuti aturan-aturannya.

Dalam situasi pagebluk Covid-19 sekarang ini WHO menjadi superbodi paling berpengaruh di dunia. Aturan apa pun yang dikeluarkan oleh WHO ditaati dengan penuh takzim. Tidak ada pemaksaan, semua dilakukan dengan sukarela.

Indonesia dengan sukacita menjadi bagian dari negara-negara G-20, dan sekarang dengan bangga menduduki posisi kepresidenan. Semua aturan main sudah disepakati bersama oleh 20 anggota tanpa ada paksaan, semua dilakukan dengan sukarela.

Prinsip-prinsip perdagangan bebas sebagai bagian dari ‘’The Washington Consensus’’ dijalankan dengan penuh ketaatan oleh semua anggota.

Ada prinsip kesetaraan di antara seluruh anggota. Namun, tentu ada kesetaraan yang lebih tinggi bagi negara-negara besar, dan kesetaraan yang lebih rendah bagi negara-negara ‘’junior partner’’ seperti Indonesia.

Sebagaimana prinsip dalam ‘’The Animal Farm’’ Orwell, ‘’All animal area created equal, but some are more equal than others’’; semua hewan diciptakan setara, tetapi beberapa hewan punya kesetaraan lebih tinggi dibanding lainnya.

Itulah paradoks kesetaraan. Indonesia tahu dan sadar diri bahwa sebagai junior partner tidak mungkin menuntut kesetaraan yang lebih tinggi yang dinikmati oleh negara-negara senior partner seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan negara-negara Uni Eropa.

Rasa tahu diri itu kita terima sebagai bagian dari hegemoni.

Dengan penuh rasa tahu diri Indonesia melakukan konformintas, penyesuaian diri, dengan aturan-aturan yang sudah disepakati organisasi. Negara-negara anggota harus menjadi negara yang terbuka terhadap perdagangan internasional, ramah terhadap investasi asing, dan terbuka terhadap aliran modal.

Untuk menjamin konformitas itulah Indonesia menciptakan Omnibus Law demi menjamin berlangsungnya aturan main yang sudah disepakati bersama. Globalisasi menjadi permainan bersama yang dirayakan bersama dengan penuh kegembiraan dan sukacita.

Itulah yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia yang menjadi salah satu produsen terbesar kelapa sawit dunia tidak bisa mengontrol harga minyak goreng di dalam negeri. Kita yang punya kelapa sawit, tetapi kita tidak bisa mengatur harganya. Semua didikte oleh mekanisme pasar internasional berdasarkan prinsip ekuilibrium pasar dalam mekanisme ‘’the invisible hand’’.

Ketika kita menyaksikan ratusan ibu berdesak-desakan saling sikut berebut minyak goreng, ketika kita menyaksikan ratusan orang mengantre dengan sabar untuk mendapatkan jatah minyak goreng murah, di situlah kita mendapatkan gambaran mengenai penjajahan modern dalam bentuk hegemoni.

Bangsa Indonesia menikmati tempe secara turun-temurun sebagai bagian dari budaya kuliner yang sudah menjadi milik bangsa selama berabad-abad. Ketika tempe kemudian menghilang karena para perajin melakukan boikot, kita pun tersadar bahwa untuk mempertahankan keberadaan tempe pun kita tidak cukup punya kekuatan.

Kedelai sebagai bahan baku tempe tiba-tiba menjadi komoditas yang mahal yang harganya tidak terjangkau. Kedelai yang di masa lalu bisa kita produksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sekarang harus kita impor dari pasar internasional.

Sebutan bangsa tempe yang dibuat oleh Bung Karno terasa sangat ironis sekarang. Rasanya kita ini memang bangsa tempe yang lembek, yang terus-menerus menjadi korban hegemoni. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler