jpnn.com - Kebrutalan perang di Yaman tak kalah mengerikan dari apa yang terjadi di Syria, Iraq dan Palestina. Namun, sangat minim pemberitaan tentang perang di negara sebelah selatan Arab Saudi itu. Berbeda dengan perang di Syria atau penderitaan warga Gaza yang diberitakan secara masif.
Kondisi itu dikeluhkan penasihat senior di Save the Children Caroline Anning. Tanpa pemberitaan, tragedi kemanusiaan di Yaman kurang mendapat perhatian internasional. Ujung-ujungnya, upaya untuk segera mengakhiri tak kunjung datang.
BACA JUGA: Israel Kembali Berulah di Palestina, Tiga Warga Jadi Korban
”Mengingat besarnya penderitaan penduduk dan fakta bahwa itu disebabkan ulah manusia, perhatian internasional ke Yaman masih belum memadai,” kata Anning seperti dilansir kantor berita AFP.
Kenapa pemberitaan perang Yaman minim? Itu tidak disebabkan media enggan meliput. Namun, karena akses masuk ke Yaman yang sangat sulit. Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi memberlakukan aturan ketat bagi siapa saja yang mau masuk ke sana.
BACA JUGA: HRW: Pangeran Muhammad Arsitek Penderitaan di Yaman
Jurnalis dan lembaga HAM asing dilarang masuk. Bukan hanya mereka yang akan masuk secara langsung. Jurnalis yang mau masuk dengan menumpang pesawat PBB yang hendak mengirimkan bantuan juga dihadang.
Jurnalis majalah Rolling Stone sampai harus masuk lewat jalur ilegal agar bisa membuat laporan langsung dari Yaman. Dia membayar seseorang untuk menyelundupkannya masuk Yaman lewat jalur laut dengan menggunakan perahu cepat.
BACA JUGA: PBB Didesak Beri Sanksi Putra Mahkota Saudi
Bukan hanya pasukan koalisi Arab Saudi yang tidak bersahabat dengan jurnalis, melainkan juga pemberontak Houthi.
Agustus lalu mereka menahan Hisham Omeisy, salah seorang aktivis yang kerap memberikan informasi tentang perang di Yaman ke dunia luar. Belasan tentara mendatangi rumahnya dan menangkap pria 38 tahun tersebut.
”Penahanan itu menunjukkan kekuasaan otoritas Houthi yang ingin membungkam para aktivis,” tegas Direktur Kampanye Amnesty International di Timur Tengah Samah Hadid.
Dia meminta Omeisy dibebaskan. Awal Desember pemberontak Houthi juga menyandera 41 jurnalis dan pekerja media di stasiun televisi Yemen Today.
Letak Yaman juga membuat peliputan kian sulit. Yaman hanya berbatasan dengan Saudi dan Oman. Pasukan koalisi dengan mudah mengisolasi penduduk lantaran Oman adalah sekutunya.
Mereka tidak bisa mengungsi keluar dari negaranya seperti halnya penduduk korban perang Syria. Penduduk Syria bisa lari ke Turki, Jordania, dan Lebanon untuk mencari bantuan dan menceritakan penderitaannya.
Tapi, tidak dengan penduduk Yaman. Tidak ada arus pengungsi besar-besaran ke negara lain. Dengan begitu, tidak ada negara yang merasa terganggu maupun memperhatikan.
Semua penderitaan penduduk seperti kelaparan, kekurangan perawatan medis, air bersih, kolera, dan berbagai hal lainnya tak meluber ke luar perbatasan.
Manuver diplomatik Saudi dan negara-negara sekutunya di Arab dan Barat juga membuat PBB dan berbagai negara berpengaruh di dunia tak terlalu menaruh perhatian pada perang di Yaman.
Tak ada sanksi maupun resolusi untuk perang Yaman. Kecaman-kecaman yang dilontarkan hanya sebatas kata-kata yang tidak akan membuat pergerakan pasukan koalisi berubah. Blokade masih terus dilakukan.
Koordinator Kemanusiaan PBB di Yaman Jamie McGoldrick seperti dilansir jariangan televisi SBS menyebut upaya agar perang di Yaman terlupakan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik juga tidak peduli dengan penduduk.
Hal senada diungkapkan Direktur Agency for Technical Cooperation and Development di Yaman Liny Suharlim.
”Apa yang terjadi di Yaman dianggap sebagai konflik tak terlihat yang telah dilupakan dunia,” tegas Suharlim. (sha/c10/ang)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 50 Ribu Anak Terancam Mati Sia-Sia di Yaman Akhir Tahun Ini
Redaktur & Reporter : Adil