50 Ribu Anak Terancam Mati Sia-Sia di Yaman Akhir Tahun Ini

Kamis, 21 Desember 2017 – 17:05 WIB
Kamp penampungan korban perang di Provinsi Hajjah, Yaman. Foto: The New YorkTimes

jpnn.com, SANAA - Yaman porak-poranda akibat perang saudara yang kini sudah berlangsung sekitar tiga tahun. Warganya menderita. Tapi, tidak banyak tangan yang terulur ke sana.

Sampai-sampai, Save the Children menyebut perebutan kekuasaan di Yaman sebagai konflik yang terlupakan.

BACA JUGA: Houthi Hujani Saudi dengan Rudal, AS Salahkan Iran

’’Penderitaan rakyat Yaman akibat tragedi yang diciptakan manusia itu tidak sebanding dengan perhatian yang dicurahkan dunia kepada mereka,’’ kata Caroline Anning, penasihat senior Save the Children, sebagaimana dilansir Naharnet Newsdesk, Rabut (20/12).

Perempuan Inggris yang pernah menjadi reporter BBC itu berkesempatan melawat ke Yaman belum lama ini. Dan, dia prihatin menyaksikan penderitaan anak-anak.

BACA JUGA: Waduh, Houthi Arahkan Rudal ke Rumah Raja Salman

Foto-foto yang beredar luas di dunia maya tentang anak-anak Yaman yang kelaparan dan kurang gizi, menurut Anning, memang benar. Bahkan, lebih dari itu, ribuan anak lainnya bisa meninggal setiap saat karena kolera.

’’Jika kita tetap berpangku tangan, akan ada 50.000 anak yang kehilangan nyawa pada akhir tahun ini. Mereka akan mati sia-sia,’’ ungkap Anning.

BACA JUGA: Sebut TKI Terbaik, Dubes Saudi Berharap Moratorium Dicabut

Kondisi yang memperparah penderitaan warga sipil Yaman, terutama anak-anak, adalah blokade Saudi. Save the Children menyebut penutupan akses pelabuhan dan bandara membuat bantuan kemanusiaan ke Yaman terhenti.

Padahal, warga sipil sangat membutuhkan pasokan makanan dan obat-obatan dari luar. Khususnya obat kolera. Sebab, saat ini jumlah warga yang mengidap kolera hampir 1 juta orang.

’’Konflik Yaman telah membuat salah satu negara termiskin di Timur Tengah itu menjadi negara dengan krisis kemanusiaan terparah di dunia.’’ Demikian bunyi keterangan Yaman Can’t Wait, organisasi yang mewadahi gerakan peduli Yaman, sebagaimana dikutip harian Le Monde.

Saat ini, kelompok tersebut tengah menggalang dukungan dari para pemimpin dunia untuk menyudahi perang di Yaman.

Sejauh ini, Yaman Can’t Wait sudah mendapat dukungan dari 350 tokoh. Mulai politisi, seniman, rohaniwan, pemuka masyarakat, sampai warga biasa.

Para pendukung gerakan peduli Yaman itu membubuhkan tanda tangan dalam surat terbuka untuk Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis. Mereka mendesak tiga negara yang berkoalisi dengan Saudi itu berhenti menyerang Yaman.

Yaman Can’t Wait mengalamatkan surat terbukanya kepada Presiden AS Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May.

’’Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, mereka harus bisa mewujudkan perdamaian lewat gencatan senjata dan dialog,’’ desak perwakilan organisasi yang beranggota para aktivis perdamaian lintas negara tersebut.

Peter Gabriel, salah seorang aktivis kemanusiaan yang terlibat aktif dalam aksi Yaman Can’t Wait tersebut, menyatakan bahwa saat ini 22 juta warga Yaman bergantung pada bantuan dari luar untuk bertahan hidup.

Itu adalah jumlah tiga perempat penduduk Yaman. ’’Setiap sepuluh menit, seorang anak meninggal karena kelaparan atau penyakit,’’ ungkapnya.

Sejak koalisi Saudi terlibat dalam Perang Yaman pada 26 Maret 2015, sedikitnya 8.700 nyawa melayang dan belasan ribu lainnya terluka. Sebelumnya, konflik yang lahir bersamaan dengan Arab Spring tersebut memang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Tapi, jumlahnya tidak sebanyak setelah Saudi ikut campur. Sebab, bersama AS dan sekutu Eropa-nya, Saudi terus membombardir Yaman. Khususnya sarang-sarang Houthi.

Sementara itu, dari Riyadh dikabarkan, Saudi akan tetap membiarkan Pelabuhan Hodeidah Yaman buka. Pelabuhan itu akan buka selama sebulan sesuai dengan jadwal, meskipun Houthi kembali merudal Saudi.

’’Agar bantuan kemanusiaan tetap mengalir ke Yaman, kami akan tetap membuka pelabuhan ini bagi akses bantuan kemanusiaan dan pasokan makanan,’’ terang jubir koalisi seperti dikutip Reuters.

Hodeidah merupakan pelabuhan utama yang menjadi jalur penting distribusi bantuan pangan dan obat-obatan ke Yaman. Pelabuhan itu menjadi salah satu titik yang menghubungan Yaman dengan dunia luar.

Bulan lalu, setelah Houthi merudal Saudi, pemerintah Negeri Petrodolar itu menutup pelabuhan tersebut. Beberapa pelabuhan yang lain dan bandara juga ditutup. Akibatnya, warga sipil terisolasi. (hep/c19/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Raja Salman Tak Hadiri KTT OKI, Takut Donald Trump Marah Ya?


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler