Peraturan MK Dinilai Kontra UU Pilkada

Senin, 18 Januari 2016 – 20:17 WIB
Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Benteng Harapan, Ardy Susanto. FOTO: DOK.PRI for JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Sejumlah kalangan mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Pasalnya, Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, bertentangan atau tidak berpedoman pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, misalnya pembatasan selisih suara yang ditangani MK.

Penilaian itu disampaikan Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Benteng Harapan, Ardy Susanto dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, di Jakarta, Senin (18/1).

BACA JUGA: Jenazah Panji Hilmansyah Baru Tiba Kamis, Penyebabnya...

“Pengaturan batasan selisih suara untuk menangani sengketa Pilkada melalui Peraturan MK itu mereduksi UU Pilkada,” tegas Ardy Susanto.

Senada dengan Ardy Susanto, Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengkhawatirkan upaya para pencari keadilan khususnya bagi para pasangan calon dalam Pillada serentak 9 Desember lalu, yang merasa dirugikan atas hasil perolehan suara yang telah diumumkan. Upaya mencari keadilan, kata Uchok, sepertinya kandas di tengah jalan atau ditangan Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA: TEGAS! Semakin Banyak Hutan Terbakar, Pejabat TNI-Polri Siap-Siap Terima Hukuman Ini

Menurut Uchok, MK menggunakan pembatasan syarat selisih suara bukan berpedoman kepada kewenangan diberikan oleh UU 8/2015, tapi lebih kepada penafsiran yang tertuang dalam Peraturan MK 5/2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau MK tetap menerapkan Peraturan MK 5/2015, bukan berpedoman kepada UU 8/2015, maka MK tidak mewujudkan  keadilan subtantif.  Dan Bahwa MK harus mempertanggungjawabkan kepada publik atas tafsir yang membingungkan yang ternyata sama sekali tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan,” tegas Uchok.

BACA JUGA: DPR Puji Langkah Sigap Polri Hadapi Teroris, Tapi Intelijen dan BNPT Sibuk Apa?

Uchok pun menegaskan, bila MK tetap mempergunakan Peraturan MK itu, maka MK merupakan lembaga pemalas Dari perkirakan perkaraan yang masuk ke MK sebanyak 147 perkara, maka perkara yang disidangkan oleh MK hanya sekisar dibawah 10 perkara saja.

Sebelumnya, puluhan orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FMPP) 2015, Kamis (14/1) mendatangi Komisi II DPR RI untuk melakukan rapat konsultasi terkait kesimpangsiuran tata cara beracara di Mahkamah Konstitusi.

Kedatangan FMPP 2015 ini diterima oleh Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzaman dan Wakil Ketua Ahmad Riza Patria serta beberapa anggota Komisi II DPR.

Koordinator FMPP 2015, Frederikus Tulis menilai penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada membingungkan. Bahkan Frederikus menilai penafsiran MK yang tertuang dalam bentuk ayat sisipan di Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2016 terkait batasan selisih perolehan suara sebagai syarat formil mengajukan gugatan ke MK, mengangkangi Pasal 158 UU Pilkada itu sendiri. Hal ini jelas tidak sesuai amanat UU.

“Kita berharap MK dapat menjadi ruang untuk mewujudkan keadilan substantif,” tegas Frederikus Tulis.

Ia menjelaskan, syarat selisih untuk melakukan gugatan itu jelas kalau merujuk pada Pasal 158 UU Pilkada adalah penerapan hasil penghitungan suara oleh KPU, bukan dihitung dari perolehan suara terbanyak seperti yang MK inginkan di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015.

Menanggapi aspirasi FMPP 2015 itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyatakan sangat menyambut positif terkait masukan tersebut. Bahkan, Riza Patria berpandangan lebih ekstrim lagi terkait persoalan yang sedang diadukan.

“Saya juga menilai MK telah melakukan kesalahan penafsiran, MK bukan Mahkamah Kalkulator,” kata Riza Patria.

Riza sendiri mengaku sudah melakukan simulasi hitungan dengan mengambil sampel di beberapa daerah dengan memakai metode yang tertuang dalam UU yang ada di PMK. “Hasilnya jelas-jelas beda,” tegas Riza.

Riza menambahkan jika perlu bahkan kedepan dalam rencana revisi UU Pilkada, tidak boleh ada lagi batasan-batasan saat ada pihak yang ingin mencari keadilan akibat sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Sebab, kata Riza, dengan batasan seperti ini berarti peserta Pilkada bisa saja berpikiran untuk berbuat kecurangan dan kecurangan tersebut dilakukan dengan cara di atas batasan prosentase yang ditentukan, maka bisa dipastikan tidak bisa digugat karena selisihnya akan lebih besar dari syarat selisih yang ditentukan. Alhasil pintu untuk mencari keadilan semakin tertutup.

“Saya berjanji akan segera memanggil MK untuk rapat (Rapat Dengar Pendapat/RDP, red) bersama Komisi II DPR agar persepsi soal ini menjadi sama. Tapi khusus terkait kesimpangsiuran PMK Nomor 5 Tahun 2015 ini harus segera diselesaikan,” tegas Riza Patria.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan KPK Geledah Ruang Anggota Komisi V DPR


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler