jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Hanif Fadhillah menyebut perawat yang terinfeksi Covid-19 makin banyak.
Menurut Hanif, hal ini harus menjadi perhatian bagaimana tenaga kesehatan bisa mendapatkan perlindungan yang cepat dalam menangani Covid-19.
BACA JUGA: PPNI: Kalau Pemerintah Sudah Mengeluarkan Izin Edar Vaksin, Berarti Keamanannya Terjamin
"Program testing yang belum meningkat, belum banyak. Untuk pasien saja sedikit, bagaimana perawat," kata Hanif dalam siaran YouTube BNPB, Rabu (17/3).
Hanif mengatakan seharusnya perawat dapat secara rutin menjalani tes usap dengan metode polymerase chain reaction (PCR), minimal satu bulan atau dua minggu sekali.
BACA JUGA: 106 Perawat Meninggal Dunia saat Bertugas Menangani Pasien Covid-19
Menurutnya, hal ini untuk mengetahui dengan cepat apakah mereka positif Covid-19 atau tidak.
“Supaya bisa istirahat mendapatkan tindakan, sehingga tidak terjadi hal yang buruk," ujar Hanif.
BACA JUGA: Insentif Tenaga Medis Terhambat, Azis DPR Bereaksi KerasÂ
Dia menjelaskan perawat memiliki beban kerja yang cukup tinggi.
Misalnya seperti beban kerja yang sistemnya shift.
Hal itu membuat perawat kurang istirahat, mengakibatkan fisik memburuk, serta berdampak ke beban mental.
"Itu yang terjadi akhir-akhir ini," tegasnya.
Selain itu, Hanif menambahkan, insentif yang diberikan ke perawat terkadang terlambat.
Menurut dia, sejak Juni 2020 lalu, sejumlah perawat di daerah belum ada yang mendapatkannya.
"Memang insentif tanggung jawab penyalurannya ada di pemerintah daerah. Kami melihat hal itu harus dievaluasi regulasinya, harus berbasis keadilan dan kewajaran," tuturnya.
Dia mencontohkan ketika ada pasien masuk UGD, ICU, atau kamar operasi, di situ yang menangani atau terlibat dalam pelayanan bukan hanya bagian di tiga tempat itu saja.
"Sementara yang lain banyak tidak mendapatkan," bebernya.
Menurut data yang diperoleh Hanif 50 persen dari 274 tenaga kesehatan yang meninggal dunia kebanyakan berada di ruang rawat umum yang tidak merawat pasien Covid-19.
"Mereka punya risiko tinggi. Misalnya yang mendapat insentif 5 tenaga kesehatan, sementara pelayanan di puskesmas tidak dilakukan 5 orang saja. Ini mungkin evaluasi untuk pemerintah, Kemenkes maupun Kemenkeu," tambahnya. (mcr12/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Arry Saputra