Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kemajuan profesionalisme guru-guru kita? Sudahkah guru-guru kita memahami perkembangan teknologi? Mengapa kurikulum 2013 yang dinilai usang karena tidak mengakomodasi perkembangan zaman tetap dipaksakan? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) Guru, antara Perjuangan dan Tantangan Revolusi Teknologi Informasi yang digelar Indopos-JPNN.Com bersama –sama dengan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa itu.
----------------------------------------------------------------------------
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas, perdebatan seru pun tak terelakan. Bahkan, di ujung akan berakhirnya acara, suasana diskusi justru sedang memanas. Tak heran jika praktisi dan consultan pendidikan Itje Chodidjah ( Bukan Itje Khadijah seperti yang tertulis kemarin, Red.) tak segera beranjak dari ruangan tatkala acara usai. Ia nampak masih sibuk dengan point-point diskusi yang belum terpecahkan. Ia mencatat dengan baik di laptop kesayangannya.
Semua peserta sepakat, diskusi sesingkat ini tak akan mungkin mengurai berbagai persoalan yang kini dihadapi para guru tercinta kita. Bukan hanya soal profesionalisme guru, tetapi juga manajemen pemerintah dalam mengelola guru-guru agar menjadi pendidik yang handal. ”Ya, apa pun, diskusi ini sangat bermanfaat selain dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi yang sebenarnya para guru kita,” Itje menuturkan.
Senada dengan Itje, Deputy Direktur Pendidikan Dompet Dhuafa Sri Nurhidayah. Menurutnya, dalam situasi seperti ini sebenarnya guru memiliki peran yang sangat penting. Karena, kata dia, apa pun bentuk kurikulum yang diterapkan kalau kualitas guru-gurunya handal, maka semua itu tidak akan menjadi masalah.
”Rekan-rekan kita di sekolah Katolik sudah membuktikan. Karena memiliki kualitas guru yang sangat handal, mereka tidak begitu peduli dengan Kurikulum 2013. Karena mereka sudah memiliki standar guru yang kompeten,” kata Sri.
Kini, kata Sri, yang terpenting adalah bagaimana membangkitkan kembali jiwa pembelajar seorang guru. Karena guru adalah seorang pembelajar. “Guru tidak boleh berhenti belajar. Dan guru harus memiliki dan mampu bersikap terbuka,” tuturnya.
Pembenahan kualitas guru tetap menjadi fokus dalam diskusi ini. Itje berpendapat, hingga saat ini pemerintah tidak memiliki greget dalam pembenahan kualitas guru. Bahkan pemerintah cenderung melupakan kegiatan melatih ketrampilan mengajar para guru-guru ini. “Dulu ada Kelompok Kerja Guru (KKG), namun pelatihan di forum ini sifatnya juga masih tempo, tempo-tempo tidak ada, tempo-tempo ada,” canda Itje.
Itje mengkritisi kebijakan pendidikan pemerintah yang banyak tidak nyambung. Apalagi masing-masing pihak justru lebih mengedepankan egonya, dan tidak berfikir untuk kepentingan nasional.
"Salah satu contoh, guru diterima di daerah, lantas fungsi dari 8 standar nasional pendidikan itu dipakai oleh siapa. Mestinya kementerian turun ke daerah, pusat mengontrol, masa nggak, terus apa gunanya itu kementerian," kata Itje.
Itje menyebut kelemahan pembinaan guru tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Apalagi sejak pendidikan didesentralisasikan ke daerah. Buruknya sistem pendidikan diperparah oleh sikap kementerian yang tidak mau mendengarkan masukan dari siapapun. Salah satunya dalam perubahan kurikulum pendidikan saat ini.
"Kurikulum memang boleh dikembangkan, tapi kalau guru tidak dikembangkan apa jadinya. Pemerintah harus mendengarkan, kami berdiri bukan menentang, tapi maaf, kita berdiri untuk memberikan share," papar Itje.
Sementara itu Asep Sapa'at dari Sekolah Guru Indonesia mengatakan, bicara soal guru dan perkembangan teknologi ada beberapa hal yang harus dicermati. Pertama, ada guru yang tahu bahwa dia tahu pentingnya teknologi. Guru seperti ini harus difasilitasi agar dia bisa sharing dengan sesama guru. Konsep membangun kolaborasi di antara sesama profesional sudah dilakukan.
:vid="8372"
"Ada guru yang tahu bahwa dia tahu teknologi itu penting, maka fasilitasi dia untuk belajar cara menggunakan teknologi secara arif dan bijaksana," ulasnya. Nah, tahapan yang tepat untuk mengembangkan kompetensi ICT (informasi dan teknologi komunikasi) seorang guru menurut Asep, bisa dilakukan dengan membangun kesadaran, mengubah mind Set dengan melatih keterampilan teknis.
Karena itu infrastrukturnya harus dipenuhi, perketat monitoring evaluasi dan lakukan perbaikan sistem secara komitmen dan konsisten. "Sebesar apapun persoalan penguasa, itu persoalan kecil karena hanya persoalan pribadi. Tapi, sekecil apapun persoalan guru, itu persoalan besar karena menyangkut masa depan bangsa," tambahnya.
Hal ini diperkuat oleh Nosa Kurniawan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Dari sudut pandang guru, katanya, sebenarnya Indonesia sudah punya sistem yang bagus. Tapi berdasarkan audit yang dilakukan KAN masih banyak masalah yang sebenarya sepele, tapi paling susah.
"Masalah itu adalah komitmen dan konsisten. Dari kementerian masalahnya juga soal komitmen dan konsistensinya ini. Permasalahan guru terjadi dan terus berjalan. Kita sudah punya standarisasi yang bermutu dan bagus, tinggal komitmen dan konsisten tidak menjalankannya," ujar Nosa.
Ditambahkannya, standar nasional pendidikan itu dibuat berdasarkan penelitian. Tapi masalah di hilir sering terjadi kompetensi sertifikatnya terlambat. Kemudian implementasi bermasalah karena kurangnya pengawasan.
"Monitoring evalusasi itu harus dikawal jangka panjang. Kan ada RPJM, itu harus jelas. mau siapapun presidennya, siapapun menteri, sistemmnya harus jalan. Karena kita bagian dari dunia, tinggal ada kemaun tidak," tandasnya.(fat/jpnn)
----------------------------------------------------------------------------
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas, perdebatan seru pun tak terelakan. Bahkan, di ujung akan berakhirnya acara, suasana diskusi justru sedang memanas. Tak heran jika praktisi dan consultan pendidikan Itje Chodidjah ( Bukan Itje Khadijah seperti yang tertulis kemarin, Red.) tak segera beranjak dari ruangan tatkala acara usai. Ia nampak masih sibuk dengan point-point diskusi yang belum terpecahkan. Ia mencatat dengan baik di laptop kesayangannya.
Semua peserta sepakat, diskusi sesingkat ini tak akan mungkin mengurai berbagai persoalan yang kini dihadapi para guru tercinta kita. Bukan hanya soal profesionalisme guru, tetapi juga manajemen pemerintah dalam mengelola guru-guru agar menjadi pendidik yang handal. ”Ya, apa pun, diskusi ini sangat bermanfaat selain dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi yang sebenarnya para guru kita,” Itje menuturkan.
Senada dengan Itje, Deputy Direktur Pendidikan Dompet Dhuafa Sri Nurhidayah. Menurutnya, dalam situasi seperti ini sebenarnya guru memiliki peran yang sangat penting. Karena, kata dia, apa pun bentuk kurikulum yang diterapkan kalau kualitas guru-gurunya handal, maka semua itu tidak akan menjadi masalah.
”Rekan-rekan kita di sekolah Katolik sudah membuktikan. Karena memiliki kualitas guru yang sangat handal, mereka tidak begitu peduli dengan Kurikulum 2013. Karena mereka sudah memiliki standar guru yang kompeten,” kata Sri.
Kini, kata Sri, yang terpenting adalah bagaimana membangkitkan kembali jiwa pembelajar seorang guru. Karena guru adalah seorang pembelajar. “Guru tidak boleh berhenti belajar. Dan guru harus memiliki dan mampu bersikap terbuka,” tuturnya.
Pembenahan kualitas guru tetap menjadi fokus dalam diskusi ini. Itje berpendapat, hingga saat ini pemerintah tidak memiliki greget dalam pembenahan kualitas guru. Bahkan pemerintah cenderung melupakan kegiatan melatih ketrampilan mengajar para guru-guru ini. “Dulu ada Kelompok Kerja Guru (KKG), namun pelatihan di forum ini sifatnya juga masih tempo, tempo-tempo tidak ada, tempo-tempo ada,” canda Itje.
Itje mengkritisi kebijakan pendidikan pemerintah yang banyak tidak nyambung. Apalagi masing-masing pihak justru lebih mengedepankan egonya, dan tidak berfikir untuk kepentingan nasional.
"Salah satu contoh, guru diterima di daerah, lantas fungsi dari 8 standar nasional pendidikan itu dipakai oleh siapa. Mestinya kementerian turun ke daerah, pusat mengontrol, masa nggak, terus apa gunanya itu kementerian," kata Itje.
Itje menyebut kelemahan pembinaan guru tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Apalagi sejak pendidikan didesentralisasikan ke daerah. Buruknya sistem pendidikan diperparah oleh sikap kementerian yang tidak mau mendengarkan masukan dari siapapun. Salah satunya dalam perubahan kurikulum pendidikan saat ini.
"Kurikulum memang boleh dikembangkan, tapi kalau guru tidak dikembangkan apa jadinya. Pemerintah harus mendengarkan, kami berdiri bukan menentang, tapi maaf, kita berdiri untuk memberikan share," papar Itje.
Sementara itu Asep Sapa'at dari Sekolah Guru Indonesia mengatakan, bicara soal guru dan perkembangan teknologi ada beberapa hal yang harus dicermati. Pertama, ada guru yang tahu bahwa dia tahu pentingnya teknologi. Guru seperti ini harus difasilitasi agar dia bisa sharing dengan sesama guru. Konsep membangun kolaborasi di antara sesama profesional sudah dilakukan.
:vid="8372"
"Ada guru yang tahu bahwa dia tahu teknologi itu penting, maka fasilitasi dia untuk belajar cara menggunakan teknologi secara arif dan bijaksana," ulasnya. Nah, tahapan yang tepat untuk mengembangkan kompetensi ICT (informasi dan teknologi komunikasi) seorang guru menurut Asep, bisa dilakukan dengan membangun kesadaran, mengubah mind Set dengan melatih keterampilan teknis.
Karena itu infrastrukturnya harus dipenuhi, perketat monitoring evaluasi dan lakukan perbaikan sistem secara komitmen dan konsisten. "Sebesar apapun persoalan penguasa, itu persoalan kecil karena hanya persoalan pribadi. Tapi, sekecil apapun persoalan guru, itu persoalan besar karena menyangkut masa depan bangsa," tambahnya.
Hal ini diperkuat oleh Nosa Kurniawan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Dari sudut pandang guru, katanya, sebenarnya Indonesia sudah punya sistem yang bagus. Tapi berdasarkan audit yang dilakukan KAN masih banyak masalah yang sebenarya sepele, tapi paling susah.
"Masalah itu adalah komitmen dan konsisten. Dari kementerian masalahnya juga soal komitmen dan konsistensinya ini. Permasalahan guru terjadi dan terus berjalan. Kita sudah punya standarisasi yang bermutu dan bagus, tinggal komitmen dan konsisten tidak menjalankannya," ujar Nosa.
Ditambahkannya, standar nasional pendidikan itu dibuat berdasarkan penelitian. Tapi masalah di hilir sering terjadi kompetensi sertifikatnya terlambat. Kemudian implementasi bermasalah karena kurangnya pengawasan.
"Monitoring evalusasi itu harus dikawal jangka panjang. Kan ada RPJM, itu harus jelas. mau siapapun presidennya, siapapun menteri, sistemmnya harus jalan. Karena kita bagian dari dunia, tinggal ada kemaun tidak," tandasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Zaman Teknologi, Tak Kan Lari HP Dikejar
Redaktur : Tim Redaksi