BORONG-Situasi di perbatasan Kabupaten Manggarai Timur (Matim) dan Ngada, Selasa (6/3) sore kembali tegang dan memanas. Situasi ini dipicu ulah Camat Riung, Kabupaten Ngada yang melanggar tapal batas dengan seenaknya datang dan masuk ke wilayah hukum Kabupaten Matim, dengan tujuan kunjungan kerja ke Kampung Marolante, Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim. Dalam rombongan kunjungan kerja itu, terlibat unsur Polri dan TNI.
Sikap camat Riung bersama rombongannya, membuat warga Buntal, Desa
Golo Lijun, marah dan spontan melakukan pemblokiran jalan yang menghubungi kedua wilayah kabupaten itu. Sehingga terpaksa rombongan camat Riung kesulitan untuk kembali ke wilayah Ngada. Beruntung rombongan yang terdiri dari Kapolsek Riung bersama anggotanya, Danposranmil Riung dan 4 orang staf camat Riung, berhasil selamat dari rencana warga Buntal untuk menyandera rombongan tersebut.
Rombongan terpaksa menuju Poto, Kecamatan Sambi Rampas untuk mendapat perlindungan dari pihak pemerintah Matim.
Sekretaris Camat Sambi Rampas, Sarjudin Manjasari yang dikonfirmasi koran ini, mengatakan, pemblokiran jalan yang dilakukan oleh sejumlah warga Buntal sangat tepat dan benar dengan alasan kunjungan rombongan camat Riung ke wilayah Matim telah melanggar tapal batas dan kedaulatan wilayah Matim.
Untuk mendapat perlindungan demi keselamatan dari amukan warga, terpaksa rombongan camat Riung, mendatangi rumah jabatan (Rujab) camat Sambi Rampas, Alo Ambo di Pota, Matim. "Mereka tiba malam hari di rumah jabatan camat Sambi Rampas untuk mendapat perlindungan. Rombongan camat Riung masuk di wilayah Matim, itu sudah sangat melanggar tapal batas dan kedaulatan wilayah Matim karena kedatangan mereka lengkap dengan pakaian dinas dengan tujuan kunjungan kerja di sekolah yang ada di desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Matim. Saat mereka mau pulang kembali ke Riung, warga yang ada di Buntal sudah blokir jalan dan siap untuk menyandera rombongan itu," kata Manjasari.
Di rujab Camat Sambi Rampas, rombongan mengaku kedatangan ke wilayah Matim untuk bersilatuhrami dengan lembaga sekolah Misi yang berlokasi di Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar. Juga camat Riung bersama rombongan itu telah mengakui kesalahan yang melanggar tapal batas dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan itu.
Di rujab camat Sambi Rampas, rombongan ini diberi pengarahan oleh camat Sambi Rampas dan disarankan untuk tidak boleh melakukan hal sama yang kedua kalinya. Rombongan itu pun pulang melewati Reo-Ruteng-Borong dan terus ke Bajawa.
Lanjut Manjasari, amarah masyarakat Matim di perbatasan, khususnya warga Buntal telah diredam oleh pihak Kecamatan Sambi Rampas, Kecamatan Elar dan bersama aparat Polri dan TNI dari dua wilayah kecamatan itu. Hal ini ditandai dengan pembukaan kembali jalan yang telah ditutup dan membiarkan akses arus lalu lintas lancar. Di sini warga tetap melakukan monitoring, gerak gerik prilaku orang dari wilayah Ngada yang masuk di wilayah Matim.
Sementara warga Buntal, Anton Pado, yang konfirmasi mengungkapkan kegiatan kunjungan camat Riung dan unsur Muspika di wilayah Matim, telah terbaca niat buruknya oleh warga Matim di perbatasan. Modus kedatangan rombongan itu mau secara diam-diam mencaplok sebagian wilayah di Kecamatan Elar untuk diklaim masuk wilayah Ngada.
Hal seperti ini tidak dibiarkan oleh warga Manggarai. Peristiwa ini semua akibat sikap penyelesaian tapal batas dari Pemprov NTT yang tidak tegas. "Saya harap Gubernur NTT membuka mata dan mau mengambil sikap yang tegas dan benar terhadap persoalan perbatasan Matim-Ngada, tanpa ada rujukan lain yang merusak seluruh tatanan. Saya juga minta SK Nomor 22 tahun 1973 harus ditegakan dan jangan coba ada pihak lain yang memancing di air yang keruh. Masalah ini sudah lama dibiarkan dan situasi warga yang hidup di perbatasan tidak aman," ungkap Anton. (krf3/ito)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 1.200 Polisi di Aceh Positif Pemakai Narkoba!
Redaktur : Tim Redaksi