"Pasalnya dalam literatur-literatur fiqh Islam, baik klasik sampai kontemporer, tidak ditemukan adanya aturan mengenai masalah ini," ujar Saleh kepada JPNN di Jakarta, kemarin.
Menurut Saleh, orang yang duduk menyamping tidak akan menjadi lebih Islami daripada duduk ngangkang. Selain itu, tidak ada satu pun aturan agama yang dilanggar bila perempuan duduk mengangkang ketika naik motor.
"Dan sangat tidak rasional bila syariat Islam dipersepsikan sedangkal itu. Kalau ini dikaitkan dengan penerapan syariat Islam, justru perda ini mereduksi syariat Islam itu sendiri," kata Saleh.
Dikhawatirkan, kalau perda ini ditetapkan, kata Saleh, bisa saja dunia internasional akan mentertawakan dan mereka menilai bahwa pemerintah dan anggota legislatif daerah di Indonesia hanya bercanda ketika membuat peraturan daerah. Bahkan, ini akan menjadi bahan guyonan dan humor politik.
"Kalau perda ini dikeluarkan, besok atau lusa akan muncul lagi aturan lain yang mengharuskan orang makan pakai sendok, perempuan harus memakai bedak, atau laki-laki tidak boleh belanja kebutuhan dapur, dan lain-lain," jelas Saleh.
Mengantisipasi hal itu, lanjut Saleh, semestinya pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diminta untuk pro-aktif melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah dan anggota legislatifnya. Pembinaan ini sangat penting agar pembangunan lokal memiliki arah yang sama dengan pembangunan nasional. "Kasus Lhoksemawe ini sudah cukup dijadikan landasan untuk melakukan pembinaan tersebut," lanjut Saleh.
Saleh yang juga pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan, Pemkot Lhokseumawe diminta untuk membuat perda yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Masih banyak persoalan masyarakat yang perlu diatur dalam perda seperti pendidikan, kesehatan, kemiskinan, pengembangan ekonomi kecil, dan lain-lain. "Menurut saya, persoalan-persoalan ini jauh lebih Islami dibandingkan aturan pelarangan perempuan "ngangkang" ketika dibonceng naik motor," tegas Saleh.
Secara teoritiss, kata Saleh, tujuan dibuat aturan perundang-undangan adalah untuk mengatur kehidupan sosial agar tercipta kebaikan (mashlahat) bagi seluruh masyarakat.
Pasalnya, lazimnya sebelum sebuah aturan perundang-undangan ditetapkan, baik pemerintah maupun anggota legislatif diminta untuk melakukan kajian baik dari perspektif sosiologis, yuridis, maupun filosofis. "Dalam kajian itu, masyarakat harus dilibatkan baik secara formal (melalui rapat dengar pendapat) maupun informal (melalui jajak pendapat)," kata Saleh.
Dalam kasus ini, Saleh menduga terdapat prosedur tersebut yang diabaikan oleh Pemkot Lhoksemawe. Bahkan, Saleh tidak melihat manfaat (mashlahat) dari perda itu bagi masyarakat. Justru menimbulkan persoalan berbagai persoalan sosial baru.
"Mengapa perempuan dilarang ngangkang? Bukankah dari sisi keamanan, duduk mengangkang di atas motor jauh lebih aman daripada duduk menyamping?," tanya Saleh. (mrk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... UGM Bantah Terlibat dalam Penyempurnaan Tucuxi
Redaktur : Tim Redaksi